Translate

Senin, 09 Desember 2013

Simardan

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan. Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu. Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh. Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis. Berasal Dari Tapanuli Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya. Menjual Harta Karun Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung. “Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya. Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya. Malu Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung. Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya. Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.” Kera Putih dan Tali Kapal Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan. Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi. Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. “Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”

Sabtu, 07 Desember 2013

Kesetiaan pejuang Batak terhadap Sisingamangaraja XII

Ompu Halto sang Pejuang Pagi itu udara sangat cerah. Angin berhembus dengan perlahan. Dan sinar mentari menyinari langkah pasukan Marsose pimpinan Kapt. Christoffel yang tiba di Sibongkare. Pasukan ini sedang mengejar Raja Sisingamangaraja, beserta pasukannya. Seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat. Mereka dinterogasi satu persatu tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang disiksa karena tidak mau menunjukkannya. Melihat situasi ini, Ompu Halto datang menemui sang kapten dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa daerah ini. Sang kapten sangat merasa beruntung, karena salah satu dari musuh mereka telah datang menyerahkan diri. · “Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt. Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu Halto. · “Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang. · “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu dengan suara lebih keras. · “Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto. Pembantu Belanda itu memberi isyarat agar Ompu Halto disiksa. Maka, dengan bengis dan tanpa ampun Ompu Halto dipopor, ditendang dan dipukul dengan rotan mallo sebesar ibu jari kaki. Namun ia tetap tegar seakan-akan tidak merasakan sedikitpun siksaan tersebut. Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia pernah belajar ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya sekalipun waktu itu ia belum beristri dan beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena ia memiliki ilmu yang dapat membuat badan orang yang memusuhinya menjadi gatal-gatal. Rasa gatal itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam badannya akan luka-luka, meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang dapat mengobati rasa gatal itu adalah Ompu Halto sendiri dengan cara meludahinya. · “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada tidak sabar. · “Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,”[6] begitu jawaban yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja. Ia tidak mau berbohong, sebab ia tahu benar, di mana Raja Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun semakin kuat dan berjalan sepanjang hari, hingga satu popor senjata remuk tidak membawa hasil. Ketika itu, Raja Sisingamangaraja telah dievakuasi ke Simatabo. Setelah sebelumnya berada di Sibongkare selama empat kali bulan tula. Di Sibongkare, Ompu Halto memilih tempat yang sangat terlindung bagi pasukan Raja Sisingamangaraja yaitu Lobu Sierge. Tempat ini adalah kawasan kebun buah-buahan dengan pohon durian besar-besar dan ambasang, sehingga aktivitas di lingkungan ini tidak menarik perhatian pasukan Belanda. Menurut nasehat Ompu Halto, di Lobu Sierge tidak boleh ada api, karena asap yang membumbung tinggi akan kelihatan dari jarak jauh. Seluruh makanan di masak di luar. Karena Raja Sisingamangaraja dan seluruh garis keturunannya berpantang makan daging babi, maka ia dan seluruh marga Sinambela garis keturunannya menggantinya dengan makan ikan. Ikan di Sibongkare sangat gampang dicari, karena Aek Sisira dan Aek Ardoman merupakan gudang ikan sungai yang melimpah saat itu. Umumnya adalah ikan boyom yang dibungkus dengan daun sungkit lalu dimasukkan ke dalam bara api. Ikan ini bisa tahan dua atau tiga minggu asal benar-benar memasaknya. Tidak perlu piring atau tempat makanan lainnya, sebab bulung langge dan bulung motung di sekitar tempat ini cukup banyak. Setiap pagi, Ompu Halto dan Raja Sisingamangaraja berunding sambil mardemban. Ia sudah lama menjadi penasehat spiritual dan datu bolon bagi Raja Sisingamangaraja. · “Kekuatan Belanda tidak dapat kita imbangi, Ompu!” · “Ya, benar. Namun perjuangan ini harus dilanjutkan sampai titik darah penghabisan! Aku sangat tidak rela kalau tanah para leluhur kita ini diinjak-injak oleh orang-orang asing yang bermuat semena-mena.” Ompu Halto ingat ketika ia sebagai Rajaihutan memaklumkan perang dengan Belanda kepada rakyat Kalasan Hulu. Ia begitu gigih mengobarkan semangat berjuang kepada rakyatnya. Dan dalam waktu yang sama, Raja Sisingamangaraja telah memaklumkan perang terhadap Belanda, karena ia sangat murka dengan maklumat Belanda tahun 1876 yang menyatakan bahwa seluruh tanah Batak menjadi tanah jajahannya, dan meminta seluruh raja-raja Batak dan rakyatnya untuk meletakkan senjata. Maka rakyat pun bahu-membahu melakukan perlawanan. Seluruh laki-laki dimobilisasi untuk menjadi pasukan siap perang. Waktu itu, Belanda sedang melancarkan serangan dari Barus ke Kalasan Hulu. Ompu Halto yang telah berpengalaman melintas ke Barus tahu benar bahwa jalan dari Barus ke Kalasan Hulu hanya dan harus melewati Gunung Sigurung-gurung. Dan jalan tersebut hanya sebuah jalan setapak dengan kemiringan gunung 75o. Ia dan pasukannya mencegat di puncak gunung itu. · “Kumpulkan batu sebanyak-banyaknya!” katanya kepada pasukannya. · “Untuk apa Ompu?” tanya salah satu pasukannya. · “Saat pasukan Belanda itu naik, maka kita akan menimpuki mereka dengan batu-batu besar itu.” Benar. Ketika serdadu penjajah itu mencoba mendaki gunung Sigurung-gurung, maka dengan membabi buta dan tanpa kenal ampun, pasukan Ompu Halto menimpuki mereka dengan batu-batu besar. Banyak diantara mereka yang mati dan tidak sedikit yang terjun langsung ke jurang yang dalam. Ketika Sisingamangaraja dan pasukannya akan dievakuasi ke Simatabo, Raja Buntal dan Raja Barita, kedua putra Sisingamangaraja yang masih kecil tidak ikut rombongan dan tinggal di Sibongkare di bawah perlindungan Ompu Halto. Maka, saat Ompu Halto mendapat siksaan dari pasukan Marsose di hari pertama mereka melihatnya. Pada malam harinya, mereka dilarikan ke Tombak Pak-Pak Babo hutan premier di hulu Aek Ardoman agar jauh dari jangkauan musuh. Sementara itu, Kapt. Christoffel memerintahkan untuk tidak membunuh Ompu Halto, namun penyiksaan harus terus dilanjutkan sampai ada pengakuan di mana lokasi Sisingamangaraja berada. Di hari kedua, ia disiksa oleh algojo dari Ambon. Karena tetap tidak mau mengaku juga, siksaan dilanjutkan pada hari ketiga dan keempat. Penyiksaan pada hari keempat ini lebih kejam dan sadis. Karena alat-alat penyiksaan sudah habis, maka Ompu Halto diseret di tengah halaman. Dua buah andalu ditancapkan. Kedua tangannya direntangkan dan diikat di andalu. Dan penyiksaan tiada tara itu pun berlangsung. Seluruh rakyat, tua-muda dan anak-anak menyaksikan penyiksaan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, termasuk juga kedua istri Ompu Halto. Sedangkan pasukan Marsose mengadakan penyisiran ke seluruh pelosok Sibongkare, Lobu Sierge dan kemudian ke Lobu Toruan. Namun mereka tidak mendapat satu bukti pun yang dapat menyeret Ompu Halto. Akhirnya menjelang sundut mataniari sebuah andalu dicabut dan ………. andalu dipukulkan ke punggung Ompu Halto dengan kekuatan penuh, hingga ia terhuyung-huyung dan ambruk tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan seperti tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Raga Ompu Halto kemudian dibuang ke jurang yang tidak terlalu dalam, jurang parlambuhan tak jauh dari tempat penyiksaan. Seluruh rakyat meratapi kepergiannya dengan tangis dan kesedihan yang tak terkira, terlebih kedua istrinya yang merasa sangat kehilangan. Mereka mengutuk atas penyiksaan sadis itu, sebuah kebiadaban yang belum pernah terbayang sebelumnya. Yang lebih memilukan lagi, tidak seorang pun diizinkan untuk menjenguk ataupun merawat korban. Pukulan andalu itulah yang menyebabkan kesaktian Ompu Halto sirna. Ia mempunyai kesaktian yaitu badannya kebal terhadap berbagai senjata tajam, seperti pisau, golok, tombak atau alat-alat pemukul lainnya jika benda-benda tersebut bersih (tidak terkena tanah). Keampuhan alat-alat pembunuh itu hanya bertahan sebelum matahari terbenam, sebab alat-alat itu mendapat kekuatan dari sinar matahari. Tak terasa sore telah digantikan dengan malam. Para penduduk yang menyaksikan penyiksaan itu segera bubar dan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa segala kesedihan sekaligus kebencian yang luar biasa atas perlakuan kejam para penjajah. Sementara itu, jauh di bawah jurang sana tubuh Ompu Halto masih terbujur kaku di antara tetumbuhan talas dan suhat. Menjelang tengah malam, antara sadar dan tidak sadar, ia merasa ada seseorang yang datang membantunya, punggungnya yang sudah patah terkena pukulan alu diurut dengan baik sehingga ada sedikit kekuatan baginya. Dan ketika Subuh menjelang, ia merasakan ada ombun na manorok yang menimpa mukanya dan ia pun meminumnya. Tetesan-tetesan embun dari daun talas inilah yang memberikan kekuatan baginya. Di hari kelima, Kapt. Christoffel memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa keadaan sang korban. Utusan tersebut memastikan bahwa Ompu Halto sudah mati. Hari itu juga Kapt. Christoffel dan pasukannya bergegas meninggalkan huta Sibongkare. Dengan demikian, rakyat mempunyai kesempatan untuk menyelematkan Ompu Halto. Rakyat sempat terkejut, ternyata di sekitar korban tergeletak mereka menemukan jejak-jejak harimau yaitu babiat sitelpang. Akhirnya jiwa Ompu Halto dapat diselamatkan, namun postur tubuhnya tidak tegap seperti semula, tetapi membungkuk karena tulang punggungnya telah patah. Jejak-jejak harimau itulah yang sebenarnya merupakan guru Ompu Halto yang telah menjilati punggungnya agar terhindar dari kerusakan yang parah. Sedangkan di tempat lain, pasukan Marsose melanjutkan ekspedisi mengikuti arus sungai Sisira Rambe, terus ke hilir menyusuri daerah Lae Toras, Tarabintang, Gaman, Onggol, Pinim, Buluampa, Napahorsik terus ke Parlilitan. Andaikata mereka belok ke arah kanan, mereka akan tiba di Simatabo. Sementara itu, setelah dua bulan rombongan Sisingamangaraja berada di Simatabo, mereka menuju ke Pusuk melewati gunung Tindian Laut dengan kemiringan 75o. Di gunung terjal ini kadang-kadang mereka menjumpai ikan lele yang bermigrasi dari bawah ke atas melalui akar-akar kayu dan lumut yang basah, sampai di puncak gunung tinggal 300 m ke bawah sudah ada mata air. Menurut kepercayaan mereka, ikan lele ini tidak boleh diganggu. Dari Pusuk, rombongan dievakuasi melalui desa Siringo-ringo, Kual-kuali, terus ke Sionomhudon tepatnya di Bungus Pearaja. Waktu itu, pasukan Marsose tiba di Sionomhudon dan mengobrak-abrik semua desa serta menyiksa rakyat. Mereka mengalami kesulitan, karena rakyat tidak mengetahui bahasa Batak Toba, rakyat desa ini berbahasa Dairi, sehingga semua interogasi yang dilakukan pasukan Marsose tidak dapat dijawab oleh rakyat setempat. Kemudian ekspedisi diintensifkan ke seluruh pelosok dan seorang rakyat biasa tertangkap dan disiksa. Karena tidak tahan atas siksaan itu, ia terpaksa mengeluarkan kata-kata Lae Simonggo. Sehingga pada 13 Mei 1907 jejak Raja Sisingamangaraja yang berada di sekitar Lae Simonggo mulai terungkap. Menurut rencana semula, rombongan Raja Sisingamangaraja akan meneruskan perjalanan ke Tele terus ke Harian Boho. Namun, perjalanan tidak dapat dilanjutkan karena hutan rimba yang harus dilalui adalah rawa-rawa setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini sangat menyulitkan perjalanan, apalagi persediaan makanan semakin menipis. Ditambah lagi, di sepanjang hutan tidak ditemukan mata air yang dapat diminum. Akhirnya pasukan tetap bertahan di Lae Sibulbulon. Ada sungai kecil di hulu Lae Simonggo yaitu Lae Sibulbulon dan di hilir Lae Simonggo bersatu dengan Simpang Kiri yang bermuara di Singkil Aceh. di sungai Sibulbulon inilah akhirnya perang berkecamuk. Pada perang ini Putri Lopian, putri raja Sisingamangaraja tewas tertembak. Melihat kejadian ini, Raja Sisingamangaraja lari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah untuk memlihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja Sisingamangaraja pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Dengan gugurnya Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907, maka perang dengan Belanda berakhir. Banyak yang gugur dalam peperangan di Sibulbulon, termasuk Patuan Anggi dan Patuan Nagari yang keduanya adalah putra Raja Sisingamangaraja. Juga para prajurit, hulubalang dan panglima, termasuk panglima-panglima Aceh. Perang Aceh dan dan perang Batak bersamaan waktunya, hubungan Aceh dan Batak sangat harmonis sehingga Sultan Aceh mengirimkan beberapa panglima perangnya untuk diperbantukan dalam perang Batak. Jenazah Raja Sisingamangaraja dan kedua putranya dibawa ke Tarutung dan dimakamkan secara rahasia di Kompleks Tangsi Serdadu Belanda. Sedangkan jasad Putri Lopian yang masih bernapas dibuang ke jurang, namun kemudian jenazahnya diambil dari jurang dan dihanyutkan ke Lae Simonggo yang bermuara di Singkil. Walaupun perang Batak telah berakhir dengan wafatnya Raja Sisingamangaraja, namun di beberapa tempat di Kalasan Hulu perlawaran terus berlangsung secara sporadis. Pemberontakan-pemberontakan ini membuat desa-desa tidak aman, pembangunan terhalang dan rakyat tidak dapat mengerjakan sawah-ladangnya yang mengakibatkan kehidupan terpuruk. Ompu Halto sadar bahwa kekuatan Belanda tidak dapat ditandingi. Ia menganjurkan kepada seluruh rakyat Kalasan Hulu untuk menghentikan perlawanan.

Minggu, 01 Desember 2013

Penyebab Perselisihan Marga Simanjuntak Horbo Jolo dengan Simanjuntak Horbo Pudi

Raja Marsundung Simanjuntak adalah salah satu cucu dari Sibagot Ni Pohan, Sibagot Ni Pohan ini mempunyai empat orang anak: 1. Tuan Sihubil. 2. Tuan Somanimbil. 3. Tuan Dibangarna. 4. Raja Sonakmalela. Tuan Somanimbil mempunyai tiga orang anak, yaitu: 1. Somba Debata (Siahaan). 2. Raja Marsundung (Simanjuntak). 3. Tuan Maruji (Hutagaol). Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar Laut boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang anak yaitu Raja Parsuratan. Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan demikian sejak itu Si Raja Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). Dari isteri yang kedua ini lahirlah Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung kemudian kawin dengan marga Sirait. Rupanya hubungan antara Raja Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru Sihotang kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada kecocokan/kerukunan, juga karena si Bapak selalu lebih memihak kepada isteri keduanya. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Raja Parsuratan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke kampung Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan. Menurut cerita orang-orang tua, Raja Parsuratan cukup lama tinggal di Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di sana mengira dia bermarga Hasibuan. Kemudian Raja Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru Hasibuan. Beberapa lama kemudian Raja Parsuratan mendengar berita bahwa bapaknya, Raja Marsundung telah meninggal dunia. Raja Parsuratan kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan, Paindoan Balige. Di Balige inilah kemudian Raja Parsuratan menetap dan hidup berdekatan dengan ibu tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu serta dua orang anak perempuan. Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru Sihotang, yaitu anak yang tertua (anak perempuan) sangat dekat dengan ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih membantu ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil. Karena Raja Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya, maka dia tidak memiliki hubungan yang dekat dengan bapaknya, sehingga setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung kepada Raja Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan. Raja Parsuratan menganggap bahwa harta yang berupa satu ekor kerbau merupakan anak dari kerbau-kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar Laut boru Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i), yang disebabkan hanya karena memperebutkan seekor kerbau saja. Tidak ada bukti maupun petunjuk (keterangan), yang dapat menjelaskan bahwa persengketaan disebabkan oleh harta¬ harta yang lain seperti sawah atau benda tidak bergerak lainnya. Sekali lagi sumber perselisihan hanya karena seekor kerbau. Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Raja Parsuratan di satu pihak dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya di lain pihak, memiliki sawah masing-¬masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk membajak sawah). Sulit bagi kedua belah pihak untuk memanfaatkan tenaga kerbau yang hanya seekor itu secara bergiliran. Sampai saat ini tidak jelas ceritanya apakah kerbau yang satu ekor itu secara de facto berada dalam penguasaan Raja Parsuratan atau dalam penguasaan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya. Akhirnya timbullah emosi (hona mara) Raja Parsuratan (konon kabarnya) yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru Sihotang. Tidak jelas kapan dan apa yang mengakibatkan putri sulung tersebut meninggal. Namun meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab dari pertikaian/perselisihan antara Raja Parsuratan (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Raja Mardaup-Raja Sitombuk-Raja Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung hingga saat ini. Perselisihan ini sebenamya sudah pernah dicoba untuk diselesaikan oleh saudara-saudara Raja Marsundung yaitu Siahaan dan Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun sampai saat ini belum terjadi penyelesaian. Menurut pendapat Penulis, peristiwa meninggalnya putri sulung itu sengaja didramatisir oleh orang-orang tertentu yang ingin membuat perpecahan di antara turunan Raja Marsundung Simanjuntak hingga dewasa ini. Bahkan cerita tersebut sudah meluas karena dengan sengaja, cerita mengenai kematian putri sulung tersebut disebarkan ke marga-marga lain yaitu kepada marga-marga yang mempunyai kaitan perkawinan dengan marga Simanjuntak, terutama pihak boru. Demikianlah salah satu contoh yang menunjukkan betapa tingginya kadar konflik pada orang Batak. Konflik yang disebabkan oleh faktor kultur yaitu konflik hubungan sosial (social conflict), ditambah lagi dengan ketidakcocokan diantara para pemimpin non-formal, diantara kedua belah pihak. Konflik diantara marga Simanjuntak semakin memanas setelah adanya perbedaan kepentingan pada masa Orde Lama, yaitu pada tahun 1963. Pada waktu itu dilakukan pembuatan tugu Sobosihon boru Sihotang di Balige yang tujuannya adalah untuk kepentingan golongan tertentu yang ingin mengumpulkan massa. Pihak ini menggalang solidaritas di antara turunan dari nenek moyang Sobosihon boru Sihotang yang jumlahnya cukup banyak. Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak hingga terkenal istilah Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak Ri) yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak. Pendirian tugu ini dilaksanakan oleh tokoh-tokoh dari turunan Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu di bawah pimpinan Alm. Drs. Parlagutan Simanjuntak, yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Tapanuli Utara. Pendirian tunggu ini tidak mengikutsertakan atau mengundang turunan Raja Parsuratan. Tidak lama sesudah peresmian tugu, terjadi pemilihan Bupati Kepala daerah Tk II Tapanuli Utara dan pada saat itu Drs. Parlagutan Simanjuntak yang juga menjadi calon bupati secara tiba-tiba meninggal dunia. Oleh karena Drs. Parlagutan Parlagutan Simanjuntak meninggal dunia maka calon Bupati lainnya yaitu Kolonel Sinaga terpilih menjadi Bupati. Setelah tugu Sobo Sihon boru Sihotang didirikan, maka sejak itulah terbentuk perkumpulan Simanjuntak Sitolu Sada Ina. Pada tahun 1968 telah dibentuk pula perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak yang anggotanya terdiri dari turunan dari Raja Marsundung Simanjuntak yang lengkap, yaitu Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu. Perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak merupakan suatu perkumpulan yang menyatukan seluruh keturunan dari Raja Marsundung Simanjuntak baik keturunan dari istri pertamanya, Taripar Laut boru Hasibuan, maupun dari istri keduanya, Sobosihon boru Sihotang. Banyak lagi perselisihan-perselisihan di antara orang Batak yang membuat pergaulan sehari-hari menjadi tidak harmonis, antara lain marga Silalahi dengan marga Sihaloho, marga Panggabean dengan Marga Hutabarat, juga perselisihan di antara turunan Si Raja Lontung. Tetapi perselisihan tersebut tidak separah perselisihan diantara keturunan Raja Marsundung Simanjuntak. Sebenarnya, jika teliti lebih jauh, semua masalah yang menjadi penyebab timbulnya konflik tersebut relative sepele (tidaklah prinsipil), namun akibatnya jelas terasa di dalam upacara-upacara adat Batak. Persoalan marga-marga ini sepertinya susah/sulit diselesaikan. Kurang harmonisnya pergaulan di kalangan orang Batak dapat mengakibatkan tidak optimalnya Dalihan Na Tolu. Oleh karena itu, pada jaman reformasi dan era globalisasi ini, perlu disosialisasikan paradigma baru Dalihan Na Tolu dengan melaksanakan prinsip sinergi dan prinsip win-win solution untuk mengefektifkan Dalihan Na Tolu membawa orang Batak menuju kesatuan dan persatuan. Untuk menyelesaikan konflik/perselisihan perlu diaktifkan peranan Dalihan Na Tolu seperti misalnya musyawarah mufakat, runggun partukkoan (dialog, kompromi, rekonsiliasi) atau membuat Padan atau Janji, dengan berpegang pada prinsip win-win solution. Peranan Gereja juga penting untuk memfasilitasi usaha rekonsiliasi diantara marga-marga yang masih ada perselisihan diantara sesamanya.