Adalah satu air dengan tujuh buah
pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air,
yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam
satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat
pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber
mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Air ini disebut “PANSUR SIPITU DAI”
(Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh
macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang
ada di Limbong yaitu :
- Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
- Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
- Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
- Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
- Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
- Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
- Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong
KEANEHANNYA :
- Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
- tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
- selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
- apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
- Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
- apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
- di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.
Bagian II
Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan
angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah
bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga
melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.
Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa
dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga
samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan
Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar
untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti
peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang
tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender
Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun
perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan
Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni
berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam
0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman
kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam
18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu,
kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan
dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara
(hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara
sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama,
samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom,
singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni
mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk,
samisara bulan mate, hurung, ringkar.
Kalender Internasional menghitung hari
356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak
menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada
bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli
perbintangan yang namanya disebut “Datu Siboto Ari”. Datu Siboto Ari ini
dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari
yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari
(ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan
mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat
membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat
tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan
letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap
manusia.
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan
Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan
alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa
manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak
dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan
mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena
itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang
baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya
mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu
yang disebut “Bulu Parhalaan”.
Didalam bulu parhalaan ini dituliskan
daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan
pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap
manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan
dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan
pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana
sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk
menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas
dalam kehidupan manusia.
2. Pansur Sipitu Dai
(Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta,
bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan
yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak
(Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan
menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan
Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
Mula ni dungdang mula ni sahala,
Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja
indapati. (Awal dari “dungdang” awal dari kharisma, Siuntung-untung na
bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).
Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari,
Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja
manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing
piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah
jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).
Napabuka-buka pintu, napadung-dang
dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari,
parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu
ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang
meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas
hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada
Tuhan).
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni
ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian
langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na
marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala
napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do
partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat
yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang
ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, “sian bintang najorbut, tu
lape-lape bulu duri”. Dari mata air menuju langit, tu gala-gala
napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah
bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).
Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.
3. Pansur si Pitu Dai
(Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan
tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus
tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar,
atau harus tujuh potong.
4. Pansur sipitu Dai (Pancur
tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara
Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan
Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara
non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas
selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai
dengan “Pitu Hali Mangaliat” (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan
menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan
acara Pitu hali mangaliat.
5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran
tujuh rasa) juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam stuktur
atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang
mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :
- Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
- Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
- Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
- Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
- Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
- Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
- Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.
6. Pansur Sipitu Dai
(Pancur Tujuh rasa0 juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan
Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung,
karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.
Adapun orang yang menjadi sakti ialah :- Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
- Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
- Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
- Saribu Raja
- Limbong Mulana
- Sagala Raja
- Silau Raja
- Boru Pareme
- Bunga Haomasan
- Anting Haomasan
Nama yang tujuh ini di gabung menjadi
satu ikatan yang dinamakan “Sipitu Tali’ (tujuh satu ikatan), dan nama
yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri
limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu
tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan
hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara
kelompok.
Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh
kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan
nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali.
Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta
Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali
inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :
‘Jonggi Manaor” dari turpuk Sidauruk“Raja Sori” dari turpuk Borsak Nilaingan
“Raja Paradum” dari turpuk Nasiapulu
“Manontang Laut” dari turpuk Sihole
“Raja Paor” dari turpuk habeahan
Bersamaan dengan itu, lahirlah
Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga
Sinaga. Kesaktian Jonggi Manaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal
di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat
tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat
tinggal di Palipi.
Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja
Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama
dalam upacara “Hoda Somba” yaitu upacara persembahan, mempersembahkan
kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini
dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, “Raja Hatorusan natorus
marpangidoan tu Debata” (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama
kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.
Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan)
disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini
diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga
Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan
mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di
Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan,
dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara
itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.
Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini
dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut
tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing
kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).
Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan
kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor,
Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan
kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.
Tetapi … setelah mereka berjumpa dengan
Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma
menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.
Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa)
ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di
Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme,
yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang
kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor
(Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung
mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.
Dari anak Lontung yang tujuh orang ini,
anak yang paling bungsu yaitu Marga “Siregar”, adalah menantu kesayangan
bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah
satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi
semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini
russak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk
memperbaiki Pancuran itu.
Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat
Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di
Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti
sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan
dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan
yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA
HORAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar