Pernah Tau Batu gantung dan Asal-usul Nama Kota Parapat...?
Dahulu
kala, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara,
hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang
cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan,
Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap
hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi
Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari.
Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang
diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni
hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki.
Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk
merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia
sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya,
si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan
mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu
menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang
majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa
hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih,
karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda
yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan
seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga
yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin
mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika
harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak
sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa
saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai
air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu
ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing
curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil
menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni
berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang
dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu
yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu
membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu
sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan
dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si
Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia
tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang.
Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki
benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus
asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara
si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong
di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera
berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai
di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang
kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…!
auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk
memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan
bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak
lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah
Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke
tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju
ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil
mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada
warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang
tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika
mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang
mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita:
“Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak
Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar
lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa
kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya
suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk
menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga
yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga
mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu
tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan
keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke
dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya
ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar
suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat.
Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir
Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga
berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan
mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat
diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat
setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang
menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding
tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu
itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam
lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa
hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis
itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat
“Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan
kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara:
“Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata
“parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka
Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.
Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang
sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar