Translate
Selasa, 12 November 2013
Biografi Ebiet G. Ade
Nama Asli :Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far
Tanggal Lahir : 21 April 1954
Tempat Lahir : Wanadadi, Jawa Tengah, Indonesia
Kewarganegaraan : Indonesia
Ayah : Aboe Dja’far
Pekerjaan Ayah : Pegawai Negeri Sipil
Ibu : Saodah
Pekerjaan Ibu : Pedagang kain
Suami/Istri : Koespudji Rahayu Sugianto
Anak-anak : Abietyasakti “Abie” Ksatria Kinasih, Aderaprabu “Dera” Lantip Trengginas, Byatriasa “Yayas” Pakarti Linuwih, Segara “Dega” Banyu Bening
Populer Sejak : Merilis album “Camellia III” (1980)
Album studio
Camellia I (1979)
Camellia II (1979)
Camellia III (1980)
Camellia 4 (1980)
Langkah Berikutnya (1982)
Tokoh-Tokoh (1982)
1984 (1984)
Zaman (1985)
Isyu! (1986)
Menjaring Matahari (1987)
Sketsa Rembulan Emas (1988)
Seraut Wajah (1990)
Kupu-Kupu Kertas (1995)
Cinta Sebening Embun (1995)
Aku Ingin Pulang (1995)
Gamelan (1998)
Balada Sinetron Cinta (2000)
Bahasa Langit (2001)
In Love: 25th Anniversary (2007)
Masih Ada Waktu (2008)
Tembang Country 2 (2009)
Sabtu, 09 November 2013
SI BORU NATINJO-AWAL TERJADINYA PULAU MALAU
AWAL TERJADINYA PULAU MALAU
Nantinjo adalah putri bungsu dari Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
dari sepuluh bersaudara, anak yang pertama adalah Raja Uti, ke dua
Saribu Raja, ke tiga Limbong Mulana, ke empat Sagala Raja, ke lima Lau
Raja sedangkan perempuan yang pertama adalah Biding Laut, ke dua Boru
Pareme, ke tiga Anting Haumasan, ke empat Sinta Haumasan dan ke lima
Nantinjo. Kita dapat berbicara langsung dengan Nantinjo melalui Nai
Hotni Boru Sagala yang tinggal di Cianjur Jawa Barat yang menjadi tempat
masuknya Roh Nantinjo (Hasorangan). Tujuan Nantinjo kembali kedunia
adalah untuk mengobati, membantu orang yang meminta pertolongan terlebih
keturunan dari Bapak dan Ibunya serta meluruskan sejarah asal mula
keturunan dari keluarganya dan mempersatukan kembali keturunan Bapaknya
Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon.
Semasa hidupnya, Nantinjo mengalami penderitaan yang cukup berat,
sebab ketika lahir kedunia ini saja dia tidak sempuma, dikatakan wanita
bukan, pria juga bukan.Pada saat umurnya sepuluh tahun kedua orang tua
Nantinjo telah di panggil Yang Kuasa. Semenjak ditinggal kedua orang
tuanya semakin beratlah penderitaan yang dialaminya. Nantinjo tinggal
bersama abangnya Limbong Mulana, karena yang tinggal dikampung pada saat
itu hanyalah ketiga abangnya Limbong Mulana, Sagala Raja serta Lau
Raja, sedangkan abangnya Raja Gumeleng-Geleng telah pergi dibawa oleh
Yang Kuasa kepuncak Gunung Pusuk Buhit. Abangnya yang nomor dua Saribu
Raja telah pergi juga merantau entah kemana rimbanya, dikarenakan adanya
skandal cinta dengan adiknya sendiri Boru Pareme.
Kemelut keluarga yang begitu hebat telah melanda keluarga Nantinjo
sehingga abangnya yang nomor tigalah yang harus bertanggung jawab atas
diri Natinjo sepeninggal kedua orang tuanya. Walaupun Nantinjo tinggal
dirumah abangnya sendiri, penderitaan yang dialaminya sangat berat
karena begitu besar tanggungjawab yang dibebankan abangnya terhadap
dirinya mulai dari mengurus rumah, mengasuh anak-anak, serta mencari
bahan makanan ke hutan. Dan yang membuat hati Nantinjo sangat menderita
apabila Nantinjo salah sedikit saja pastilah dia mendapat hukuman dari
abangnya. Siksaan demi siksaan diterima Natinjo hari lepas hari dari
abangnya tersebut. Meskipun begitu berat penderitaannya Nantinjo pasrah,
sebab tumpuan harapan pengaduannya telah pergi merantau entah kemana.
Nantinjo mempunyai keahlian bertenun, maklumlah pada saat itu dia
harus bertenun jika ingin mempunyai pakaian. Setiap bertenun, Nantinjo
selalu melantunkan syair lagu penderitaannya dengan berlinang air mata
sambil memohon kepada yang Kuasa agar ditunjukkan jalan padanya untuk
dapat keluar dari deritanya. Melihat dan mendengar penderitaan serta
jeritan hati Nantinjo, Yang Kuasa akhirnya menunjukkan jalan keluar
kepada Nantinjo. Pada suatu saat datanglah abangnya Lau Raja bertamu
kerumah Limbong Mulana, melihat adiknya sedang menangis hatinya sedih,
sebagai abangnya Lau Raja penasaran dan bertanya kepada sang adik,
mengapa engkau menangis Nantinjo? Namun pertanyaan abangnya itu bukan
membuat Nantinjo diam malah membuat tangisan Nationjo semakin keras. Lau
Raja pun mendekati adiknya, dipeluk dan dihibur adiknya dengan penuh
kasih sayang sambil bertanya ada apa gerangan yang membuat hati adiknya
begitu pilu dan sedih? Sadar bahwa abangnya begitu sayang kepadanya,
Nantinjo akhirnya menceritakan segala penderitaannya dan menunjukkan
luka dipunggungnya akibat siksaan yang kerap dilakukan abangnya Limbong
Mulana kepadanya.
Tanpa sadar Lau Raja memanggil nama ibunya“Sibaso Bolon” sambil
berujar “teganya kamu Ibu, membiarkan putri bungsumu mengalami
penderitaan yang begitu berat dan tidak berkesudahan”. Sambil membelai
adiknya, Lau Raja mengajak Natinjo pergi dari rumah Limbong Mulana dan
ia berjanji akan menyayangi Natinjo. Mendengar ucapan dan janji
abangnya, Nantinjo langsung mengikuti ajakan Lau Raja. Akhirnya Lau Raja
membawa Nantinjo ke Simanindo Pulau Samosir tempatnya tinggal .Semenjak
tinggal dengan Lau Raja. Nantinjo merasa senang, tenang dan bahagia.
Nantinjo diberi kebebasan untuk melakukan kesenangannya bertenun
walaupun abangnya miskin .
Hari lepas hari berganti, tak terasa Nantinjo sudah mulai
berkembang menjadi gadis remaja yang anggun, cantik dan bersahaja.
Kecantikan wajah dan sikap Nantinjo yang tidak pernah membedakan
teman-temannya semakin menambah harum namanya terlebih dikalangan
pemuda. Nantinjo menjadi gadis pujaan semua lelaki baik dikampungnya
maupun dari kampung seberang danau toba. Seorang pemuda dari
perkampungan (Huta) Silalahi sangat tertarik kepada Nantinjo dan ingin
menjadikannya sebagai pendampingnya seumur hidup. Tanpa mengadakan
pendekatan kepada Nantinjo, pemuda tersebut langsung meminta kedua orang
tuanya untuk segera meminang Nantinjo. mendengar permintaan sang anak,
orang tua pemuda tersebut sangat senang dan bangga ternyata putra mereka
bemiat meminang bunga desa dari Simanindo.
Tanpa membuang banyak waktu, pihak keluarga tersebut akhirnya
berangkat beserta rombongan ke rumah Lau Raja. Dengan maksud untuk
meminang Nantinjo yang akan dijadikan istri dari putranya. Setelah
mendengar dan mendapat pinangan tersebut, Lau Raja mengundang kedua
abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja untuk mengadakan rapat keluarga,
untuk menentukan apakah pinangan tersebut diterima atau tidak.
Ternyata, kedua abangnya mempunyai pendapat yang sama yaitu
menerima pinangan tersebut. Namun Lau Raja berpendapat bahwa Nantinjo
yang harus menentukan keputusan itu, diterima atau tidaknya lamaran
tersebut. Kemudian mereka memanggil Nantinjo untuk hadir dalam rapat
keluarga tersebut, dan mempertanyakan kepada Natinjo apakah ia bersedia
menerima pinangan pihak laki-Iaki dari seberang danau toba itu? Sadar
akan keberadaan dirinya yang laki-laki bukan perempuan juga bukan dengan
spontan Nantinjo menjawab bahwa dirinya belum siap untuk berumah
tangga. Dengan alasan Natinjo ingin menyelesaikan tenunannya terlebih
dahulu agar dia bisa memakainya suatu saat nanti jika ia telah siap
untuk berumah tangga.
Namun abangnya Limbong Mulana tidak memperdulikan jawaban Nantinjo
dan tidak memberikan kesempatan kepada Nantinjo untuk menolak. Katanya
“kamu harus menerima pinangan tersebut”. Mendengar paksaan dari abangnya
itu tanpa sadar air mata Nantinjo menetes dipipi, dia berpikir tidak
akan bisa melawan keinginan abangnya Limbong Mulana. Nantinjo
melayangkan pandangan kepada abangnya Lau Raja dengan harapan dapat
membela dirinya, namun Lau Raja pun tidak dapat membela adik yang sangat
disayanginya itu karena dia sendiripun takut akan amarah abangnya
Limbong Mulana. Melihat situasi seperti itu Nantinjo hanya dapat
menangis dan menjerit meratapi nasibnya dalam hati.
Hanya Nantinjo sendiri yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Ketiga abangnya tidak mengetahui bahwa Nantinjo tidak sempurna
dilahirkan kedunia ini sebagai seorang wanita. Nantinjo menolak karena
dia menyadari bahwa dia tidak akan dapat membahagiakan calon suaminya
dikemudian hari. Nantinjo berusaha berpikir keras, alasan apalagikah
yang tepat untuk dapat menolak lamaran tersebut.
Nantinjo terus berfikir, berusaha mencari alasan untuk menolak
lamaran tersebut. Akhirnya dia mendapat ide dan mengatakan kepada
abangnya: “Saya bersedia menerima pinangan dengan syarat pihak laki-laki
itu harus dapat menyediakan emas satu perahu penuh serta uang ringgit
satu perahu penuh” Mendengar persyaratan yang diberikan Nantinjo
ternyata orang tua calon suaminya siap memenuhi permintaannya itu,
bahkan calon mertuanya mengatakan lebih dari permintaanmu kami dapat
kami penuhi.
Setelah kedua belah pihak sepakat, pihak lelaki kembali ke
kampungnya diseberang Pulau Samosir. Keesokan harinya, pihak laki-laki
itupun datang kembali beserta rombongan dengan membawa persyaratan yang
diminta Nantinjo, yaitu emas satu perahu dan ringgit satu perahu.
Melihat emas satu perahu dan ringgit satu perahu keserakahan
Limbong Mulana timbul, sikapnya langsung berubah lembut kepada Nantinjo.
Dengan lembut Limbong Mulana mengatakan kepada adiknya “sekarang kamu
tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pinangan calon suamimu itu
adikku, sebab calon mertuamu sudah memenuhi permintaanmu disaksikan
ketiga abang¬-abangmu serta khalayak ramai. Begitu tulusnya calon
mertuamu menjadikan kamu sebagai menantu, dan sebagai abangmu yang
tertua diantara kami, aku memutuskan bahwa kamu harus berangkat saat ini
juga ikut dengan suamimu, Doa Restu dari kami abang-abangmu menyertai
keberangkatanmu. Kami mendoakan kiranya Tuhan memberikan kebahagian
lahir maupun batin kepada kamu” kata Limbong Maulana panjang lebar.
Dengan hati yang hancur Nantinjo menatap abangnya satu persatu
sambil berkata kepada abangnya Lau Raja : “Jikalau memang saya harus
berangkat untuk berumah tangga dengan calon suami saya yang bukan
pilihan hati saya, tetapi dikarenakan godaan emas dan ringgit satu
perahu, ternyata kalian tega memaksa saya untuk berumah tangga, bagiku
tidak ada pilihan kecuali menerima namun permintaanku pada abang:
”Kumpulkanlah semua apa yang menjadi milikku termasuk alat yang selalu
kupakai untuk bertenun. Bambu turak ini tempat benang tenunku tolong
tanamkan di ujung desa ini, suatu saat nanti semua keturunan Bapak dan
Ibuku akan melihat dan mengingat saya yang penuh dengan penderitaan.”
Lau Raja memenuhi permintaan adiknya dan berjanji akan
melaksanakannya. Nantinjopun akhirnya menaiki perahu kesayangannya dan
berangkat meninggalkan kampung itu mengikuti rombongan calon suaminya.
Sambil mendayung perahu hati Nantinjo terus gusar. Dia tidak dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi setelah sampai dikampung calon
suaminya nanti. Kegundahan dan kekalutan pikiran Nantinjo tidak
menemukan jawaban, kemudian Nantinjo memohon dan berseru kepada ibunya
Sibaso Bolon, “Bu, mengapa ini harus terjadi, seandainya dahulu ibu
cerita kepada semua abangnya tentang keadaan Natinjo yang sebenarnya,
mungkin ini tidak akan terjadi. lbulah yang bersalah serta Limbong
Mulana yang tergoda dengan emas dan ringgit satu perahu”. Dengan hati
yang sangat pilu Nantinjo bertanya kepada Ibunya, “masihkah lbu sayang
pada putrimu ini? kalau lbubenar-benar masih sayang dengarkanlah jeritan
hati putrimu ini yang pal¬ing dalam. lbu! saya tidak mau berumah tangga
sebab itu hanya akan membuat aib dikeluarga, Putrimu ini rela berkorban
demi nama baik keturunan Bapak dan lbu di kemudian hari. Saya tahu ibu
dapat berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa, Pintalah kepada Yang
Kuasa agar saya lepas dari penderitaan ini dan persatukanlah saya dengan
ibu”. Mendengar jeritan sang putri yang sangat memilukan hati, ibunya
pun meminta kepada Yang Kuasa. Maka seketika itu juga turunlah hujan
yang sangat lebat, angin dan badaipun datang menerjang perahu Nantinjo.
Gemuruh ombak disertai halilintar turut menangis melihat penderitaan
Nantinjo. Akhirnya perahu Nantinjopun tenggelam ditelan ombak danau
toba. Nantinjo menemui ajalnya seketika itu juga. Ketiga abangnya yang
menyaksikan hal itu merasa bersalah serta takut.
Bahkan setelah Limbong Mulana memeriksa emas dan ringgit satu
perahu yang diberikan calon suami adiknya ternyata hanya diatasnya saja
emas dan ringgit dibawahnya hanya gundukan pasir dan tanah. Penyesalan
yang timbul selalu datang terlambat, apa mau dikata Nantinjo sudah
tenggelam ke dasar danau toba.
Keesokan harinya disaat orang masih tertidur pulas Lau Raja pergi
kepantai tempat perahu Nantinjo diberangkatkan dengan harapan dapat
menemukan adiknya hidup maupun mati. Ditelusurinya sepanjang pantai
namun tidak ditemukan jasad adiknya. Sambil menangis tersedu-sedu Lau
Raja meminta dalam hatinya kepada Yang Kuasa agar jasad adik yang
disayanginya dapat ditemukan.
Sayup-sayup Lau Raja mendengar bisikan: “Adikmu Nantinjo sudah saya
bawa ketempat yang aman, sekarang dia bersama ibumu. Anakku hapuslah
air matamu, dan lihatlah ketempat dimana perahu adikmu tenggelam, disitu
kau akan melihat satu keajaiban dunia, perahu adikmu akan muncul
kembali berupa pulau.“ Inilah sebagai pertanda bagi keturunanku di
kemudian hari betapa tulus dan mulia pengorbanan adikmu, tidak pernah
mau membuat saudaranya malu dan terhina dihadapan orang“.
Tiba-tiba Lau Raja tersadar dan melihat dimana perahu adiknya
tenggelam, dengan rasa kaget dia melihat apa yang dibisikkan oleh
ibunya.Timbulnya pulau itu membuat Lau raja merasa adiknya Nantinjo
serasa hidup kembali, dan dia berjanji pada diri sendiri bahwa ia
beserta seluruh keturunannya harus menjaga dan merawat serta menyayangi
pulau itu, sebagaimana dia menyayangi adiknya.Lau Raja memberi nama
pulau itu“PulauMalau”.
TURUNNYA ROH NANTINJO
Setelah Nantinjo tenang bersama ibunya disisi Yang Kuasa, pada
suatu hari ibunya meminta Nantinjo untuk turun kebumi untuk melihat
keturunan ibunya. Itulah pertama sekali Nantinjo menumpang ke tubuh
orang (marhuta¬ hula) di desa sagala. Pada saat itu ada seorang ibu,
istri dari marga sagala sedang pendarahan dan Nantinjo menumpang ke
tubuh orang yang kurang waras. Nantinjo meminta air untuk menyembuhkan
si ibu namun orang-orang yang ada dirumah itu berserta keluarga si ibu
tersebut mengatakan bagaimana kamu bisa membantu, kamu saja kurang
waras, namun Nantinjo tetap meminta air, akhirnya mereka memberikan air
yang diminta Nantinjo dan dia mengobati si ibu.
Betapa herannya orang yang ada dirumah itu karena si ibu dapat
sembuh. Akhirnya mereka bertanya “siapa kamu sebenarnya, lalu Nantinjo
menjawab: saya adalah namboru kalian Nantinjo” mereka menjawab
Nantinjokan sudah tenggelam, tetapi Nantinjo menjawab bahwa Rohnyalah
yang menumpang pada orang yang kurang waras tersebut serta mengatakan
“Jikalau kalian butuh bantuan panggillah namaku, terlebih kalau di danau
toba. Natinjo juga berpesan kepada mereka, kalau telur ayam kalian
mengecil jangan kalian takut sebab akulah yang meminta, kalau padimu
tertinggal disawah dan tidak dapat kamu panen akulah yang memintanya.
Kemudian Nantinjo kembali lagi kesisi ibunya.
Melihat keturunannya (pomparan) semakin berantakan serta sering
memanggil-manggil nama putrinya Akhirnya Ibunya Sibaso Bolon meminta
Nantinjo kembali ke dunia untuk membantu keturunannya dan mengupayakan
untuk mempersatukan kembali keturunan ibunya.
Sekarang Nantinjo dapat kita temui melalui nai Hotni yang ada di
Cianjur untuk meminta pertolongan ataupun menggali sejarah Pomparan Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon. Sebelumnya nai Hotni juga tidak mengetahui
kalau dirinya telah dipilih Nantinjo sebagai hasorangan (yang
menggendong Nantinjo). Memang semenjak kecil telah terjadi keanehan yang
selalu dibuat nai Hotni melalui Nantinjo. Pada usia empat tahun nai
Hotni telah menyembuhkan seorang gadis yang sakit parah bahkan sudah
divonis dokter tidak panjang umur. Saat ini gadis yang divonis harus
meninggal itu masihlah hidup dan umurnya kira-kira 60 tahun kurang
lebih. Dan gadis itu berada di daerah sidikalang, tepatnya di sumbul.
Dan yang lebih aneh jikalau nai Hotni marah ataupun sedang kesal diwaktu
kecil cukup diberikan sebuah jeruk purut, maka amarah dan kesalnya akan
hilang, tidak seperti kebiasaan anak lainnya yang dapat dibujuk dengan
permen atau mainan.
Nai Hotni adalah hasorangan namboru Nantinjo yang ke Lima. Yang
pertama gadis yang kurang waras di desa sagala meskipun hanya
sekejap,yang kedua sampai ke empat namboru memilih dari boru Limbong,
boru sagala dan boru malau. Sebelum nai Hotni resmi menjadi hasorangan
Nantinjo kehidupannya sangat menderita. Kalau kita mendengar ceritanya
hampir mirip dengan penderitaan Nantinjo, semenjak merantau tahun 1994
ke pulau Jawa, tepatnya Jawa Barat kehidupan keluarga nai Hotni sangat
menderita. Adapun tujuan mereka merantau untuk merubah nasib namun
ternyata justru penderitaan yang datang silih berganti.
Pada saat itu nai Hotni dengan suaminya hidup dari berdagang. Agar
dagangannya laris mereka mencoba meminta bantuan kepada orang pintar
(Dukun), orang pintar tersebut mengatakan bahwa nai Hotni tidak perlu
minta bantuan karena ada yang mengikutinya, nai Hotni pun menoleh dan
menjawab tidak ada yang mengikuti saya! Sang dukun mengatakan bahwa dia
diikuti wanita yang berjubah putih. Semakin penasaran nai Hotni lalu
bertanya siapa? Namborumu jawab dukun itu, wong namboru saya masih hidup
jawab Nai Hotni sang dukun tersebut menjawab, yang diatas, karena
bingung Nai Hotnipun akhirnya pulang.
Suatu ketika, si Hotni demam lalu nai Hotni membawa anaknya ke
dukun untuk minta diobati namun sang dukun tidak mau memberikan dengan
alasan tidak mampu mengobati karena dihalang-halangi wanita berjubah
putih. Sang dukun mengatakan hanya pakai air liur ibu saja anak ibu
sehat, karena bingung dan bercampur kesal ia pun pun pulang kerumah.
Sesampai dirumah sambil tiduran menjaga si Hotni, dia teringat apa yang
dikatakan dukun tadi, lalu Nai Hotni mengusapkan liurnya kedahi
putrinya, setelah diusapkan ternyata panas si Hotni benar-benar hilang.
Akhir tahun 1995 nai Hotni jatuh sakit, dokter sudah menyatakan
tidak sanggup untuk menyembuhkan nai Hotni, suaminya sangat bingung mau
dibawa kemana istri tercintanya? dibawa berobat sementara penghasilanpun
sudah tidak ada, disaat sang suami sudah pasrah datanglah seorang ibu
menganjurkan agar nai Hotni mengurus namboru yang selalu mengikutinya.
Ibu itu juga mengatakan ia hanya dapat memberikan jeruk purut (anggir)
ini untuk diminum. nai Hotnipun meminum jeruk purut tersebut dan
kesehatannya pun mulai membaik.
Kemudian sang suami memutuskan untuk mengadakan gondang (gendang)
dikampung, namun tidak mungkin dilakukan karena pada saat itu karena nai
Hotni sedang hamil tua. Karena tidak jadi mengadakan gondang, kehidupan
nai Hotni semakin runyam dan tersiksa. Akibat rasa sakit yang tidak
tertahankan lagi akhirnya ama nihotni pun memutuskan untuk segera
mengadakan gondang tahun 1997 di kampung. Setelah mengadakan gondang
barulah datang Namboru Paraek Bunga-bunga setelah itu baru Namboru
Nantinjo datang ke nai Hotni.
Memanggil namboru Nantinjo harus terlebih dahulu memanggil Namboru
Paraek Bunga-bunga sebab kesucian Namboru Nantinjo lebih tinggi, tidak
boleh Nai Hotni langsung memanggil Namboru Nantinjo. Inilah satu
pertanda dimana namboru Nantinjo yang sebenarnya.
Pada tahun 1999 Namboru Nantinjo mengadakan gondang di Buhit pulau
Samosir. Pada saat itu sesepuh dari marga Limbong tidak memberikan ijin
dikarenakan tidak pernah ada yang dapat mengadakan gondang ditempat itu
katanya! Lalu namboru menjawab, kenapa kamu melarang sayamembuat gondang
di kampung saya sendiri? kalau yang lain bisa kamu larang, tetapi saya
tidak boleh kamu larang! Akhirnya sesepuh limbong tidak dapatberbuat
apa-apa gondang pun dilaksanakan. Gondang tersebut berjalan dengan
lancar dan sejak saat itulah orang-orang yang membawakan nama Namboru
Nantinjo mengadakan acara gondang dibuhit.
Satu tahun kemudian Namboru Nantinjo mengadakan gondang di
Simanindo tepatnya tanggal 9 Juni 2000, untuk Patappehon Oppung Silau
Raja kepada hasorangannya Nai Dianto boru Sidauruk Istri dare Ama Dianto
Malau yang sekaligus menjaga Bulu Turak Namboru Nantinjo. Melalui
hasorangan namboru Nantinjo nai Hotni boru sagala, acara patappehon
oppung Silau Raja berjalan dengan lancar.
NAMBORU MENGADAKAN GONDANG DI TAMAN MINI INDONESIA INDAH
Untuk mempersatukan seluruh keluarga dari saudaranya laki-Iaki
(ibotonya) namboru Nantinjo mengadakan Pesta Budaya Batak di Taman Mini
Indonesia Indah (TMIl) pada tanggal 7 Oktober 2000. Seluruh keturunan
(pomporan) ibotonya pada saat itu hadir dalam acara tersebut. Pada
kesempatan itu namboru Nantinjo menceritakan riwayat hidupnya, serta
memperagakan bagaimana dia tenggelam di danau toba. Seluruh keturunan
ibotonya itu sangat antusias ingin mengetahui sejarah yang sebenarnya.
Namboru Nantinjo selalu menjawab apa yang dinginkan keturunan
ibotonya. Pada saat acara berlangsung terjadi keajaiban yang luar biasa,
turunnya hujan yang sangat deras disertai angin yang sangat kencang.
Ternyata penguasa alam gaib datang bertanya kepada Nantinjo siapa kamu
berani-berani membuat acara ditempat saya? Nantinjo menjawab, saya
keturunan Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon. Abang saya Raja Uti, Saribu
Raja,Limbong Mulana dan Sagala Raja. lalu Nantinjo balik bertanya, siapa
gerangan penguasa alam gaib yang datang? Yang ditanya hanya diam seribu
bahasa. Namun dia menangis sepertinya ikut merasakan kepedihan hati
Nantinjo. Karena tidak ada jawaban dari penguasa alam gaib tersebut,
Nantinjo akhirnya berkata: “siapapun kamu yang datang ini, saya mohon
jangan ganggu acara yang sedang saya lakukan, dan saya harap kamu
bersedia membantu saya mengembalikan pulau malau yang telah diambil oleh
orang lain”. Penguasa alam gaib itu tetap diam namun tidak bergeming
dari tempatnya, acarapun dilanjutkan kembali.
Ketika sedang asik menari (manortor) tiba-tiba namboru Nantinjo
mendadak datang dan bercerita kembali sambil bertanya kepada keturunan
ibotonya, apakah mereka mau membantu dia untuk mengembalikan pulau
malau? serempak keturunan ibotonya menyanggupi permintaan Nantinjo.
Setelah semua keturunan ibotonya menyanggupi permintaan Nantinjo
ditentukanlah kapan dan bagaimana cara pengembalian pulau malau. Setelah
berunding, ditentukanlah siapa yang ditunjuk sebagai perwakilan untuk
menemui keluarga sidauruk, dan selanjutnya akan diadakan gondang di
pulau Malau setelah urusan dengan Marga Sidauruk selesai.
Utusan yang sudah ditentukan berangkat menuju rumah Sidauruk
tanggal 02 Pebruari 2002 untuk membicarakan surat-surat pulau
Malau,namun pihak Sidauruk meminta agar mereka membawa perwakilan malau
yang ada di Simanindo dua atau tiga orang, jikalau sudah ada, maka
utusan Malau dari simanindo pihak sidauruk akan memberikan surat-surat
pulau Malau.
Utusan yang dikirim meminta ijin kepada pihak Sidauruk untuk
mengadakan gondang di pulau malau, dan hal itupun disetujui. Sambil
menunggu Malau dari simanindo dapat diundang untuk dapat bertemu dengan
pihak sidauruk.
MENGEMBALIKAN PULAU MALAU
Setelah ada ijin dari pihak Sidauruk maka pada Tanggal 28-30 Juni
2001 diadakanlah gondang dipulau malau sebagai tanda bahwa pulau malau
telah kembali sekaligus mempersatukan keturunan orang tuanya Guru Tatea
Bulan/Sibaso Bolon. Semua keturunan iboto Nantinjo hadir dalam acara
tersebut, bahkan hadir hasorangan yang jumlahnya delapan belas orang
yang membawakan nama Nantinjo datang pada saat itu.
Ketika acara sudah dimulai hasorangan yang membawakan Nantinjo
mulai kesurupan satu-persatu, namun namboru Nantinjo yang sebenarnya
belum datang. Diperkirakan ia sedang memantau apa saja yang dikatakan
oleh orang¬-orang yang mengaku sebagai hasorangannya, karena jikalau
benar sebagai hasorangan, Nantinjo harus tau apa yang dikatakan serta
apa yang harus diperbuat dalam acara tersebut. Begitu hebatnya
perdebatan yang terjadi pada saat itu antara yang mengaku hasorangan
Nantinjo dengan keturunan iboto Nantinjo, akhirnya Nantinjo datang
melalui nai Hotni. Ia mengumpulkan orang¬-orang yang mengaku sebagai
hasorangan Nantinjo, dia mengatakan “bahwa mereka adalah sebahagian yang
membawa tas (hajut) serta pengawal Nantinjo. kemudian Nantinjo meminta
mereka semua menangis di hadapan yang hadir di acara tersebut.
Semua yang mengaku hasorangan Nantinjopun menangis, lalu Nantinjo
menyuruh panuturinya (penterjemah) ama nihotni untuk mempersiapkan
napuran (debban) untuk dibagi-bagikan kepada mereka sebagai upah. Tanpa
sepengetahuan keturunan ibotonya, Nantinjo melakukan semua itu kepada
orang-orang yang mengaku hasorangannya dengan tujuan supaya keturunan
ibotonya itu mengetahui siapa sebenarnya yang dipilihnya menjadi
hasorangannya dan sebagai tambahan yang sangat renting. Untuk menambah
pengetahuan para pembaca bahwa tikar tempat duduk namboru Nantinjo harus
tiga lapis yang mempunyai arti bahwa namboru Nantinjo sudah menjalani
Banua Toru (tenggelam didanau toba) Banua Tonga (semasa hidupnya) dan
Banua Gijang (menghadap Yang Kuasa).
Tujuan mulia yang dilakukan Nantinjo kepada keturunan ibotonya,
ternyata disalahartikan oleh keturunan ibotonya. Pulau malau yang
seharusnya sudah kembali kepada si pemilik menjadi permasalahan kembali
karena pihak sidauruk tidak mau lagi memberikan surat-surat pulau malau
karena keturunan iboto Nantinjo. bahkan kabarnya sebahagian pihak malau
saat ini berusaha agar hasorangan namboru nantinjo harus boru malau.
Berbagai cara dilakukan malau yang ada di simanindo untuk
menggagalkan kembalinya pulau malau, yang seharusnya sesuai dengan janji
atau sumpah kakeknya ketika melihat pulau malau pertama kali harus
mereka laksanakan. Kita saja kalau makam orang tua kita diserobot orang
kita pastilah marah. Mengapa pulau malau sebagai pertanda dari leluhur
kita tidak kita rawat sebaik mungkin, malah saat ini justru orang lain
yang memilikinya. Tidak tertutup kemungkinan hal ini yang membuat
keturunan Oppu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon semakin susah hidupnya.
Pernahkah kita menyadari hal ini. Hal ini juga yang membuat namboru
Nantinjo setengah hati untuk membantu keturunan dari ibotonya karena
Nantinjo merasa sedih kita keturunan ibotonya membiarkan sibuk-sibuk
(daging) namboru kita dikuasai orang lain.
Tidak tertutup kemungkinan semakin menderita kehidupan masyarakat
Batak disekitar Danau Toba serta pulau samosir saat ini disebabkan Pulau
malau dikuasai marga Sidauruk serta kurangnya perhormatan yang kita
lakukan terhadap leluhur. Coba kita kilas balik ke belakang, zaman Nahum
Situmorang almarhum, beliau sampai berani menciptakan lagu pulau
Samosir yang terkenal dengan kacangnya serta padinya, Tao Toba, Parapat
sebagai Kota turis. Sekarang apa yang kita lihat tidak ada perkembangan
bahkan dapat kita katakan lagu-Iagu ciptaan Bang Nahum Situmorang untuk
saat ini tidak berlaku lagi melihat kondisi pulau samosir dan Danau
Toba, coba kita renungkan dan kita benahi.
Pesta Mempersatukan Keturunan Ompu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
Mangkaroani Air Batu Sawan Ompu Raja Uti
Tanggal 17-18-19 Juni 2002
Pada Tanggal 17-19 Juni 2002 namboru Nantinjo mengadakan gondang
selama tiga hari-tiga malam untuk mempersatukan keturunan abangnya
didesaParik Sabungan Limbong Sianjur Mula-mula. Sesuai dengan adat yang
telah berlaku. Undangan yang telah disebarkan kepada keturunan Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon dengan Pemerintah setempat Bupati, Camat,
Kepala Desa serta Raja Adat turut menghadiri acara tersebut.
Dalam acara tersebut keturunan Ompu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
memberikan kenang-kenangan berupa Ulos Batak kepada robongan
Bupatibeserta jajarannya serta memberikan buku sejarah Nyi Roro Kidul
yang menceritakan bahwa dia adalah Putri sulung dari Raja Batak, Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon yang bernama Biding Laut. Selanjutnya Bupati
memberikan bantuan sebagai tanda turut berpartisipasi. Pada malam
harinya yang hadir meminta kepada nai Hotni boru Sagala untuk memanggil
namboru Nantinjo untuk bercerita kepada keturunan abangnya.
Setelah acara ritual dilaksanakan namboru Nantinjo datang dan
bercerita bahwa abangnya Saribu Raja dan Lau Raja telah kembali ke
kampung halamannya karena keturunannya telah bersatu hati. Katanya “ Ia
sangat bahagia melihat abangnya telah melihat kalian telah bersatu”.
Keturunan abangnya pun mengucapkan terima kasih kepada namboru meminta
kepada Oppung agar memberkati kami keturunannya.
Keesokannya, dipagi hari, tanpa sepengetahuan seorangpun melalui
hasorangannya A. Raja Limbong dari sidikkalang Oppu Raja Uti datang dan
menceritakan kegembiraan serta kebahagiannya melihat keturunannya telah
bersatu.
Asal Usul Nyi Roro Kidul
MENGUAK ASAL USUL KANJENG RATU KIDUL
AGUS SISWANTO DAN EKA SUPRIATNA
Pada tgl. 6 Februari 2008 lalu, Misteri mendapat undangan seorang rekan
bernama Malau. Beliau mengajak Misteri untuk mengikuti ritual di
Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sebuah ritual untuk mengungkap asal usul
Kanjeng Ratu Kidul. Tentu saja tawaran itu Misteri sambut hangat.
Terlebih ketika dia mengatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul berasal dari
Tanah Batak.
Sejauh
ini terdapat berbagai pendapat seputar asal usul sosok Kanjeng Ratu
Kidul. Ada yang mengatakan, Kanjeng Ratu Kidul sesungguhnya adalah Ratu
Bilqis, isteri Nabi Sulaiman Alaihissalam. Dikisahkan, setelah wafatnya
Nabi Sulaiman as., Ratu Bilqis mengasingkan dirinya ke suatu negeri. Di
sana beliau bertapa hingga moksa atau ngahyang.
Legenda
lain seputar Kanjeng Ratu Kidul adalah Dewi Nawang Wulan, sosok
bidadari yang pernah diperisteri Jaka Tarub. Sedangkan kisah lain tidak
secara spesifik menyebutkan asal Kanjeng Ratu Kidul, kecuali dia puteri
seorang raja di Tanah Jawa.
Sinyalemen
Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak bukannya tanpa alasan. Isu
ini pertama kali dibicarakan tahun 1985, ketika dalam suatu acara adat
Batak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), beberapa orang mengangkat
masalah ini. Tetapi rupanya tidak terlalu mendapat respon yang hadir.
Isu pun tenggelam dengan sendirinya.
Ketika
Misteri membuka internet, hanya terdapat satu situs yang menyinggung
masalah ini. Itupun hanya dalam beberapa baris kalimat saja. Demikian
kutipannya:
“Ini
dia cerita tentang Ratu Laut Selatan yang dipercaya sebagian orang
sebagai Biding Laut, saudara dari Saribu Raja yang notabene adalah
keturunan Raja Batak.…tapi baca dulu kisahnya ya… siapa tau Nyi Roro
Kidul emang keturunan Raja Batak”. (23 desember 2004)
http://mappa.blogspot.com/2004/12/nyi-roro-kidul-dari-batak.htmlHanya sekilas saja kalimat yang menyinggung Kanjeng Ratu Kidul sebagai orang Batak.
Padahal,
sebagaimana diungkapkan Silalahi, di daerah Samosir ada seorang wanita
yang kerap kali kemasukan roh Kanjeng Ratu Kidul. Wanita bernama Boru
Tumorang ini sering mengaku sebagai Kanjeng Ratu Kidul ketika sedang trance. Itulah sebabnya, Boru Tumorang sengaja didatangkan ke Jawa untuk mengikuti ritual menguak asal usul Kanjeng Ratu Kidul.
LEGENDA BIDING LAUT
Sebelum
melakukan perjalanan ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Misteri menyempatkan
diri berbincang-bincang dengan Silalahi (40 thn), spiritualis yang akan
memimpin ritual tersebut.
“Legenda
asal usul Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak ini tidak lepas
dari kisah Raja-raja Batak,” demikian Silalahi memulai ceritanya.
Dikisahkan,
perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua
orang putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan kedua diberi
nama Raja Isumbaon.
Putra
sulungnya, yakni Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak (5 putera dan 6
puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana,
Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri bernama: Biding Laut,
Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.
Putri
tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik perempuan
lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada
orangtuanya. Karena itu, Biding Laut tergolong anak yang paling
disayangi kedua orangtuanya.
Namun,
kedekatan orangtua terhadap Biding Laut ini menimbulkan kecemburuan
saudara-saudaranya yang lain. Mereka lalu bersepakat untuk menyingkirkan
Biding Laut.
Suatu
ketika, saudara-saudaranya menghadap ayahnya untuk mengajak Biding Laut
jalan-jalan ke tepi pantai Sibolga. Permintaan itu sebenarnya ditolak
Guru Tatea Bulan, mengingat Biding Laut adalah puteri kesayangannya.
Tapi saudara-saudaranya itu mendesak terus keinginannya, sehingga sang
ayah pun akhirnya tidak dapat menolaknya.
Pada
suatu hari, Biding Laut diajak saudara-saudaranya berjalan-jalan ke
daerah Sibolga. Dari tepi pantai Sibolga, mereka lalu menggunakan 2 buah
perahu menuju ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Marsala, dekat Pulau
Nias.
Tiba
di Pulau Marsala, mereka berjalan-jalan sambil menikmati keindahan
pulau yang tidak berpenghuni tersebut. Sampai saat itu, Biding Laut
tidak mengetahui niat tersembunyi saudara-saudaranya yang hendak
mencelakakannya. Biding Laut hanya mengikuti saja kemauan
saudara-saudaranya berjalan semakin menjauh dari pantai.
Menjelang tengah hari, Biding Laut merasa lelah hingga dia pun beristirahat dan tertidur. Dia sama sekali tidak menduga
ketika dirinya sedang lengah, kesempatan itu lalu dimanfaatkan
saudara-saudaranya meninggalkan Biding laut sendirian di pulau itu.
Di
pantai, saudara-saudara Biding Laut sudah siap menggunakan 2 buah
perahu untuk kembali ke Sibolga. Tetapi salah seorang saudaranya
mengusulkan agar sebuah perahu ditinggalkan saja. Dia khawatir kalau
kedua perahu itu tiba di Sibolga akan menimbulkan kecurigaan. Lebih baik
satu saja yang dibawa, sehingga apabila ada yang menanyakan dikatakan
sebuah perahunya tenggelam dengan memakan korban Biding Laut.
Tapi apa yang direncanakan saudara-saudaranya itu bukanlah menjadi kenyataan, karena takdir menentukan lain.
BIDING LAUT DI TANAH JAWA
Ketika terbangun
dari tidurnya, Biding Laut terkejut mendapati dirinya sendirian di
Pulau Marsala. Dia pun berlari menuju pantai mencoba menemui
saudara-saudaranya. Tetapi tidak ada yang dilihatnya, kecuali sebuah
perahu.
Biding
laut tidak mengerti mengapa dirinya ditinggalkan seorang diri. Tetapi
dia pun tidak berpikiran saudara-saudaranya berusaha mencelakakannya.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menaiki perahu itu dan mengayuhnya
menuju pantai Sibolga.
Tetapi
ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahirannya.
Selama beberapa hari perahunya terombang-ombang di pantai barat
Sumatera. Entah sudah berapa kali dia pingsan karena kelaparan dan udara
terik. Penderitaannya berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah
Jawa, sekitar daerah Banten.
Seorang
nelayan yang kebetulan melihatnya kemudian menolong Biding Laut. Di
rumah barunya itu, Biding Laut mendapat perawatan yang baik. Biding Laut
merasa bahagia berada bersama keluarga barunya itu. Dia mendapat
perlakuan yang sewajarnya. Dalam sekejap, keberadaannya di desa itu
menjadi buah bibir masyarakat, terutama karena pesona kecantikannya.
Dikisahkan,
pada suatu ketika daerah itu kedatangan seorang raja dari wilayah Jawa
Timur. Ketika sedang beristirahat dalam perjalanannya, lewatlah seorang
gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik
perhatian Sang Raja. Karena tertariknya, Sang Raja mencari tahu sosok
jelita itu yang ternyata Biding Laut. Terpesona kecantikan Biding Laut,
sang raja pun meminangnya.
Biding Laut tidak menolak menolak pinangan itu, hingga keduanya pun menikah. Selanjutnya Biding Laut dibawanya serta ke sebuah kerajaan di Jawa Timur.
TENGGELAM DI LAUT SELATAN
Biding
Laut hidup berbahagia bersama suaminya yang menjadi raja. Tetapi
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Terjadi intrik di dalam istana
yang menuduh Biding Laut berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum
kerajaan pun ditetapkan, Biding Laut harus dihukum mati.
Keadaan
ini menimbulkan kegalauan Sang Raja. Dia tidak ingin isteri yang sangat
dicintainya itu di hukum mati, sementara hukum harus ditegakkan. Dalam
situasi ini, dia lalu mengatur siasat untuk mengirim kembali Biding Laut
ke Banten melalui lautan.
Menggunakan
perahu, Biding Laut dan beberapa pengawal raja berangkat menuju Banten.
Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Laut Selatan.
Namun
malang nasib mereka. Dalam perjalanan itu, perahu mereka tenggelam
diterjang badai. Biding Laut dan beberapa pengawalnya tenggelam di Laut
Selatan.
Demikianlah sekelumit legenda Biding Laut yang dipercaya sebagai sosok asli Kanjeng Ratu Kidul.
“Dalam
legenda raja-raja Batak, sosok Biding Laut memang masih misterius
keberadaannya, Sedangkan anak-anak Guru Tatea Bulan yang lain tercantum
dalam legenda,” kata Silalahi dengan mimik serius.
Sementara
itu, Boru Tumorang (45 thn) mengaku sudah lama dirinya sering kemasukan
roh Kanjeng Ratu Kidul. Terutama terjadi saat kedatangan tamu yang
minta tolong dirinya untuk melakukan pengobatan. Tetapi Boru Tumorang
tidak mengerti mengapa raganya yang dipilih Kanjeng Ratu Kidul. Semuanya
terjadi diluar keinginannya.
Asal Usul Dalihan Natolu
Legenda Putri Nai Manggale
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.
Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.
Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya. Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari.
Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.
Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.
Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.
Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya…….
Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale. Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.
Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu. Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.
Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.
Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.
Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale.
Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita :
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN NA TOLU didalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE.
Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa)
Adalah satu air dengan tujuh buah
pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air,
yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam
satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat
pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber
mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Air ini disebut “PANSUR SIPITU DAI”
(Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh
macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang
ada di Limbong yaitu :
- Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
- Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
- Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
- Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
- Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
- Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
- Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong
KEANEHANNYA :
- Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
- tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
- selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
- apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
- Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
- apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
- di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.
Bagian II
Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan
angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah
bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga
melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.
Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa
dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga
samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan
Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar
untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti
peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang
tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender
Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun
perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan
Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni
berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam
0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman
kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam
18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu,
kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan
dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara
(hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara
sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama,
samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom,
singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni
mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk,
samisara bulan mate, hurung, ringkar.
Kalender Internasional menghitung hari
356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak
menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada
bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli
perbintangan yang namanya disebut “Datu Siboto Ari”. Datu Siboto Ari ini
dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari
yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari
(ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan
mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat
membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat
tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan
letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap
manusia.
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan
Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan
alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa
manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak
dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan
mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena
itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang
baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya
mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu
yang disebut “Bulu Parhalaan”.
Didalam bulu parhalaan ini dituliskan
daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan
pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap
manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan
dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan
pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana
sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk
menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas
dalam kehidupan manusia.
2. Pansur Sipitu Dai
(Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta,
bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan
yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak
(Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan
menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan
Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
Mula ni dungdang mula ni sahala,
Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja
indapati. (Awal dari “dungdang” awal dari kharisma, Siuntung-untung na
bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).
Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari,
Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja
manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing
piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah
jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).
Napabuka-buka pintu, napadung-dang
dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari,
parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu
ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang
meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas
hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada
Tuhan).
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni
ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian
langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na
marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala
napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do
partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat
yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang
ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, “sian bintang najorbut, tu
lape-lape bulu duri”. Dari mata air menuju langit, tu gala-gala
napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah
bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).
Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.
3. Pansur si Pitu Dai
(Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan
tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus
tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar,
atau harus tujuh potong.
4. Pansur sipitu Dai (Pancur
tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara
Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan
Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara
non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas
selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai
dengan “Pitu Hali Mangaliat” (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan
menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan
acara Pitu hali mangaliat.
5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran
tujuh rasa) juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam stuktur
atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang
mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :
- Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
- Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
- Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
- Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
- Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
- Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
- Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.
6. Pansur Sipitu Dai
(Pancur Tujuh rasa0 juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan
Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung,
karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.
Adapun orang yang menjadi sakti ialah :- Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
- Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
- Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
- Saribu Raja
- Limbong Mulana
- Sagala Raja
- Silau Raja
- Boru Pareme
- Bunga Haomasan
- Anting Haomasan
Nama yang tujuh ini di gabung menjadi
satu ikatan yang dinamakan “Sipitu Tali’ (tujuh satu ikatan), dan nama
yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri
limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu
tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan
hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara
kelompok.
Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh
kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan
nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali.
Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta
Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali
inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :
‘Jonggi Manaor” dari turpuk Sidauruk“Raja Sori” dari turpuk Borsak Nilaingan
“Raja Paradum” dari turpuk Nasiapulu
“Manontang Laut” dari turpuk Sihole
“Raja Paor” dari turpuk habeahan
Bersamaan dengan itu, lahirlah
Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga
Sinaga. Kesaktian Jonggi Manaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal
di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat
tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat
tinggal di Palipi.
Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja
Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama
dalam upacara “Hoda Somba” yaitu upacara persembahan, mempersembahkan
kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini
dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, “Raja Hatorusan natorus
marpangidoan tu Debata” (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama
kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.
Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan)
disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini
diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga
Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan
mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di
Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan,
dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara
itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.
Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini
dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut
tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing
kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).
Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan
kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor,
Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan
kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.
Tetapi … setelah mereka berjumpa dengan
Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma
menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.
Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa)
ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di
Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme,
yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang
kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor
(Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung
mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.
Dari anak Lontung yang tujuh orang ini,
anak yang paling bungsu yaitu Marga “Siregar”, adalah menantu kesayangan
bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah
satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi
semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini
russak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk
memperbaiki Pancuran itu.
Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat
Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di
Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti
sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan
dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan
yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA
HORAS.
Biografi Pesepakbola Idolaku
Nama lengkap : Cristiano
Ronaldo dos Santos Aveiro
Tempat tanggal lahir : Funchal, Madeira, Portugal, 5 Februari 1985
Tinggi badan : 1.86 m (6 ft 1 in)
Posisi bermain : Sayap kanan, Penyerang
Main di klub : Real madrid
Main di tim nasional : Portugal
Nomor punggung : 7
Nama Ayah : José Dinis Aveiro
Nama ibu : Maria Dolores
NAma saudara : kakak laki-laki bernama Hugo, dan dua kakak perempuan, Elma dan Liliana Cátia
Tempat tanggal lahir : Funchal, Madeira, Portugal, 5 Februari 1985
Tinggi badan : 1.86 m (6 ft 1 in)
Posisi bermain : Sayap kanan, Penyerang
Main di klub : Real madrid
Main di tim nasional : Portugal
Nomor punggung : 7
Nama Ayah : José Dinis Aveiro
Nama ibu : Maria Dolores
NAma saudara : kakak laki-laki bernama Hugo, dan dua kakak perempuan, Elma dan Liliana Cátia
Cristiano Ronaldo atau yang dulunya sering disapa CR7, siapa yang
tidak kenal sama penyerang dari tim Real Madrid ini? Terutama bagi penggemar
sepak bola pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Cristiano Ronaldo
bukan? Pasti buat yang ngefans sama pemain sepak bola yang satu ini ingin tau kan biodatanya? Baiklah, kita akan membahas tentang pemain
yang mempunyai talenta yang luar biasa ini.
Cristiano Ronaldo lahir di Funchal,
negara Portugal, pada tanggal 5 Februari 1985. Dia adalah anak dari Maria Dolores dos Santos Aveiro dan José Dinis Aveiro. Dia juga
memiliki kakak laki-laki bernama Hugo, dan dua kakak perempuan, Elma dan
Liliana Cátia. Salah satu dari kakak Cristiano Ronaldo Bekerja sebagai penyanyi
dengan nama panggung “Ronalda” di Portugal.
Saat ini Cristiano Ronaldo membela club Real madrid dan
juga timnas portugal. Pasisinya berada pada sayap kanan dan penyerang. Sebelum
bergabung dengan club Real Madrid, dia pernah bermain dibeberapa club lain.
Salah satu hal yang membuat nama Cristiano Ronaldo melambung tinggi dan sukses
dengan kariernya sekarang adalah saat di bergabung dengan club Manchester
United. Saat berada di club tersebut, dia juga memiliki nama sapaan yang
lumayan keren, yakni CR7. CR adalah kependekan dari namanya sedangkan 7 adalah
nomor punggungnya.
Yang menjadi salah satu kelebihan ronaldo dibanding
pemain lainnya adalah kemampuannya dalam mengolah bola dan kelincahan kakinya
serta ketajamannya dalam mencetak gol. Bahkan pernah menjadi top scorer liga
inggris saat bermain di Manchester united musim 2007/2008 sekaligus top skor
liga champion musim 2007/2008. Serta menjadi top scorer liga spanyol saat
membela real madrid musim 2010/2011.
Cristiano Ronaldo juga memiliki trik-trik dalam bermain
bola yang menjadi ciri khasnya di lapangan hijau. Diantara trik-trik tersebut
adalah Step Over, Reverse Step Over, Ronaldo Chop (pengembangan lebih lanjut
dari Cruyff Turn ala Ronaldo), Rabona. Dia juga seorang pelari yang sangat
cepat, pemilik kaki nan gesit, yang mampu mengaduk-aduk bola sampai bikin
pusing lawan-lawannya. Mungkin karena kelebihannya itulah, dia bisa menjadi
pemain profesional.
Perjalanan karier Cristiano Ronaldo dimulai pada tahun 2001-2003 yang bermain untuk tim sporting lisboa. Selanjutnya dari
tahun 2003-2009 dia bermain untuk Manchester United, yakni pada club yang membuat
namanya melambung. Dan dari tahun 2009 sampai sekarang, dia bermain di club
Real Madrid. Sedangkan kariernya di tim
nasional portugal dimulai pada tahun 2003.
Prestasi yang pernah
diraihnya saat berada di club Real Madrid antara lain memenangkan Juara Copa
del rey 2010–11. Sedangkan Prestasi yang pernah diraih Cristiano Ronaldo saat
berada di club Manchester United antara lain :
- Juara liga utama inggris musim 2006–07, 2007–08, 2008–09
- Juara piala FA 2003–04
- Juara piala liga 2003–04
- Juara communty shield 2007
- Juara liga champion UEFA 2007–08
- Juara piala dunia antar klub FIFA 2008
Beberapa
prestasi individual yang pernah diraih Cristiano Ronaldo adalah sebagai
berikut:
- Penghargaan Bravo 2004
- Pemain Muda Spesial Terbaik 2004 dan 2005
- Tim Terbaik UEFA 2003–04, 2006–07, 2007–08, 2008–09, 2009–10
- Tim Liga Utama Inggris Terbaik PFA 2005–06, 2006–07, 2007–08, 2008–09
- Pemain Bulanan Liga Utama Inggris November 2006, Desember 2006, Januari 2008, Maret 2008
- Sepatu Emas Liga Utama Inggris 2007–08
- Pencetak Gol Terbanyak Liga Champions UEFA 2007-08
- Sepatu Emas Eropa 2007–08, 2010–11
- Bola Perak Piala Dunia Antarklub FIFA 2008
- Pemain Terbaik Dunia FIFA 2008
- Pemain Terbaik Dunia World Soccer 208
- Pencetak Gol Terbanyak Copa del Rey 2010/11
- Pencetak Gol Terbanyak La Liga (El pichichi) 2010/11
Sekilas tentang biodata Cristiano Ronaldo, mudah-mudah menambah
informasi untuk para penggemarnya.
Kamis, 07 November 2013
Asal Usul Batu-Gantung
Pernah Tau Batu gantung dan Asal-usul Nama Kota Parapat...?
Dahulu kala, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Dahulu kala, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)