KUMPULAN MITOS BATAK & BIOGRAFI ORANG TERKENAL
Translate
Senin, 09 Desember 2013
Simardan
Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu. Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.
Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.
Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.
Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung. Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. “Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”
Sabtu, 07 Desember 2013
Kesetiaan pejuang Batak terhadap Sisingamangaraja XII
Ompu Halto sang Pejuang
Pagi itu udara sangat cerah. Angin berhembus dengan perlahan. Dan sinar mentari menyinari langkah pasukan Marsose pimpinan Kapt. Christoffel yang tiba di Sibongkare. Pasukan ini sedang mengejar Raja Sisingamangaraja, beserta pasukannya. Seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat. Mereka dinterogasi satu persatu tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang disiksa karena tidak mau menunjukkannya. Melihat situasi ini, Ompu Halto datang menemui sang kapten dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa daerah ini. Sang kapten sangat merasa beruntung, karena salah satu dari musuh mereka telah datang menyerahkan diri.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt. Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu Halto.
· “Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu dengan suara lebih keras.
· “Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto.
Pembantu Belanda itu memberi isyarat agar Ompu Halto disiksa. Maka, dengan bengis dan tanpa ampun Ompu Halto dipopor, ditendang dan dipukul dengan rotan mallo sebesar ibu jari kaki. Namun ia tetap tegar seakan-akan tidak merasakan sedikitpun siksaan tersebut.
Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia pernah belajar ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya sekalipun waktu itu ia belum beristri dan beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena ia memiliki ilmu yang dapat membuat badan orang yang memusuhinya menjadi gatal-gatal. Rasa gatal itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam badannya akan luka-luka, meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang dapat mengobati rasa gatal itu adalah Ompu Halto sendiri dengan cara meludahinya.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada tidak sabar.
· “Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,”[6] begitu jawaban yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja.
Ia tidak mau berbohong, sebab ia tahu benar, di mana Raja Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun semakin kuat dan berjalan sepanjang hari, hingga satu popor senjata remuk tidak membawa hasil.
Ketika itu, Raja Sisingamangaraja telah dievakuasi ke Simatabo. Setelah sebelumnya berada di Sibongkare selama empat kali bulan tula. Di Sibongkare, Ompu Halto memilih tempat yang sangat terlindung bagi pasukan Raja Sisingamangaraja yaitu Lobu Sierge. Tempat ini adalah kawasan kebun buah-buahan dengan pohon durian besar-besar dan ambasang, sehingga aktivitas di lingkungan ini tidak menarik perhatian pasukan Belanda. Menurut nasehat Ompu Halto, di Lobu Sierge tidak boleh ada api, karena asap yang membumbung tinggi akan kelihatan dari jarak jauh. Seluruh makanan di masak di luar. Karena Raja Sisingamangaraja dan seluruh garis keturunannya berpantang makan daging babi, maka ia dan seluruh marga Sinambela garis keturunannya menggantinya dengan makan ikan. Ikan di Sibongkare sangat gampang dicari, karena Aek Sisira dan Aek Ardoman merupakan gudang ikan sungai yang melimpah saat itu. Umumnya adalah ikan boyom yang dibungkus dengan daun sungkit lalu dimasukkan ke dalam bara api. Ikan ini bisa tahan dua atau tiga minggu asal benar-benar memasaknya. Tidak perlu piring atau tempat makanan lainnya, sebab bulung langge dan bulung motung di sekitar tempat ini cukup banyak.
Setiap pagi, Ompu Halto dan Raja Sisingamangaraja berunding sambil mardemban. Ia sudah lama menjadi penasehat spiritual dan datu bolon bagi Raja Sisingamangaraja.
· “Kekuatan Belanda tidak dapat kita imbangi, Ompu!”
· “Ya, benar. Namun perjuangan ini harus dilanjutkan sampai titik darah penghabisan! Aku sangat tidak rela kalau tanah para leluhur kita ini diinjak-injak oleh orang-orang asing yang bermuat semena-mena.”
Ompu Halto ingat ketika ia sebagai Rajaihutan memaklumkan perang dengan Belanda kepada rakyat Kalasan Hulu. Ia begitu gigih mengobarkan semangat berjuang kepada rakyatnya. Dan dalam waktu yang sama, Raja Sisingamangaraja telah memaklumkan perang terhadap Belanda, karena ia sangat murka dengan maklumat Belanda tahun 1876 yang menyatakan bahwa seluruh tanah Batak menjadi tanah jajahannya, dan meminta seluruh raja-raja Batak dan rakyatnya untuk meletakkan senjata. Maka rakyat pun bahu-membahu melakukan perlawanan. Seluruh laki-laki dimobilisasi untuk menjadi pasukan siap perang.
Waktu itu, Belanda sedang melancarkan serangan dari Barus ke Kalasan Hulu. Ompu Halto yang telah berpengalaman melintas ke Barus tahu benar bahwa jalan dari Barus ke Kalasan Hulu hanya dan harus melewati Gunung Sigurung-gurung. Dan jalan tersebut hanya sebuah jalan setapak dengan kemiringan gunung 75o. Ia dan pasukannya mencegat di puncak gunung itu.
· “Kumpulkan batu sebanyak-banyaknya!” katanya kepada pasukannya.
· “Untuk apa Ompu?” tanya salah satu pasukannya.
· “Saat pasukan Belanda itu naik, maka kita akan menimpuki mereka dengan batu-batu besar itu.”
Benar. Ketika serdadu penjajah itu mencoba mendaki gunung Sigurung-gurung, maka dengan membabi buta dan tanpa kenal ampun, pasukan Ompu Halto menimpuki mereka dengan batu-batu besar. Banyak diantara mereka yang mati dan tidak sedikit yang terjun langsung ke jurang yang dalam.
Ketika Sisingamangaraja dan pasukannya akan dievakuasi ke Simatabo, Raja Buntal dan Raja Barita, kedua putra Sisingamangaraja yang masih kecil tidak ikut rombongan dan tinggal di Sibongkare di bawah perlindungan Ompu Halto. Maka, saat Ompu Halto mendapat siksaan dari pasukan Marsose di hari pertama mereka melihatnya. Pada malam harinya, mereka dilarikan ke Tombak Pak-Pak Babo hutan premier di hulu Aek Ardoman agar jauh dari jangkauan musuh.
Sementara itu, Kapt. Christoffel memerintahkan untuk tidak membunuh Ompu Halto, namun penyiksaan harus terus dilanjutkan sampai ada pengakuan di mana lokasi Sisingamangaraja berada. Di hari kedua, ia disiksa oleh algojo dari Ambon. Karena tetap tidak mau mengaku juga, siksaan dilanjutkan pada hari ketiga dan keempat.
Penyiksaan pada hari keempat ini lebih kejam dan sadis. Karena alat-alat penyiksaan sudah habis, maka Ompu Halto diseret di tengah halaman. Dua buah andalu ditancapkan. Kedua tangannya direntangkan dan diikat di andalu. Dan penyiksaan tiada tara itu pun berlangsung. Seluruh rakyat, tua-muda dan anak-anak menyaksikan penyiksaan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, termasuk juga kedua istri Ompu Halto. Sedangkan pasukan Marsose mengadakan penyisiran ke seluruh pelosok Sibongkare, Lobu Sierge dan kemudian ke Lobu Toruan. Namun mereka tidak mendapat satu bukti pun yang dapat menyeret Ompu Halto.
Akhirnya menjelang sundut mataniari sebuah andalu dicabut dan ………. andalu dipukulkan ke punggung Ompu Halto dengan kekuatan penuh, hingga ia terhuyung-huyung dan ambruk tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan seperti tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Raga Ompu Halto kemudian dibuang ke jurang yang tidak terlalu dalam, jurang parlambuhan tak jauh dari tempat penyiksaan. Seluruh rakyat meratapi kepergiannya dengan tangis dan kesedihan yang tak terkira, terlebih kedua istrinya yang merasa sangat kehilangan. Mereka mengutuk atas penyiksaan sadis itu, sebuah kebiadaban yang belum pernah terbayang sebelumnya. Yang lebih memilukan lagi, tidak seorang pun diizinkan untuk menjenguk ataupun merawat korban.
Pukulan andalu itulah yang menyebabkan kesaktian Ompu Halto sirna. Ia mempunyai kesaktian yaitu badannya kebal terhadap berbagai senjata tajam, seperti pisau, golok, tombak atau alat-alat pemukul lainnya jika benda-benda tersebut bersih (tidak terkena tanah). Keampuhan alat-alat pembunuh itu hanya bertahan sebelum matahari terbenam, sebab alat-alat itu mendapat kekuatan dari sinar matahari.
Tak terasa sore telah digantikan dengan malam. Para penduduk yang menyaksikan penyiksaan itu segera bubar dan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa segala kesedihan sekaligus kebencian yang luar biasa atas perlakuan kejam para penjajah. Sementara itu, jauh di bawah jurang sana tubuh Ompu Halto masih terbujur kaku di antara tetumbuhan talas dan suhat. Menjelang tengah malam, antara sadar dan tidak sadar, ia merasa ada seseorang yang datang membantunya, punggungnya yang sudah patah terkena pukulan alu diurut dengan baik sehingga ada sedikit kekuatan baginya. Dan ketika Subuh menjelang, ia merasakan ada ombun na manorok yang menimpa mukanya dan ia pun meminumnya. Tetesan-tetesan embun dari daun talas inilah yang memberikan kekuatan baginya.
Di hari kelima, Kapt. Christoffel memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa keadaan sang korban. Utusan tersebut memastikan bahwa Ompu Halto sudah mati. Hari itu juga Kapt. Christoffel dan pasukannya bergegas meninggalkan huta Sibongkare. Dengan demikian, rakyat mempunyai kesempatan untuk menyelematkan Ompu Halto. Rakyat sempat terkejut, ternyata di sekitar korban tergeletak mereka menemukan jejak-jejak harimau yaitu babiat sitelpang. Akhirnya jiwa Ompu Halto dapat diselamatkan, namun postur tubuhnya tidak tegap seperti semula, tetapi membungkuk karena tulang punggungnya telah patah.
Jejak-jejak harimau itulah yang sebenarnya merupakan guru Ompu Halto yang telah menjilati punggungnya agar terhindar dari kerusakan yang parah.
Sedangkan di tempat lain, pasukan Marsose melanjutkan ekspedisi mengikuti arus sungai Sisira Rambe, terus ke hilir menyusuri daerah Lae Toras, Tarabintang, Gaman, Onggol, Pinim, Buluampa, Napahorsik terus ke Parlilitan. Andaikata mereka belok ke arah kanan, mereka akan tiba di Simatabo.
Sementara itu, setelah dua bulan rombongan Sisingamangaraja berada di Simatabo, mereka menuju ke Pusuk melewati gunung Tindian Laut dengan kemiringan 75o. Di gunung terjal ini kadang-kadang mereka menjumpai ikan lele yang bermigrasi dari bawah ke atas melalui akar-akar kayu dan lumut yang basah, sampai di puncak gunung tinggal 300 m ke bawah sudah ada mata air. Menurut kepercayaan mereka, ikan lele ini tidak boleh diganggu. Dari Pusuk, rombongan dievakuasi melalui desa Siringo-ringo, Kual-kuali, terus ke Sionomhudon tepatnya di Bungus Pearaja.
Waktu itu, pasukan Marsose tiba di Sionomhudon dan mengobrak-abrik semua desa serta menyiksa rakyat. Mereka mengalami kesulitan, karena rakyat tidak mengetahui bahasa Batak Toba, rakyat desa ini berbahasa Dairi, sehingga semua interogasi yang dilakukan pasukan Marsose tidak dapat dijawab oleh rakyat setempat. Kemudian ekspedisi diintensifkan ke seluruh pelosok dan seorang rakyat biasa tertangkap dan disiksa. Karena tidak tahan atas siksaan itu, ia terpaksa mengeluarkan kata-kata Lae Simonggo. Sehingga pada 13 Mei 1907 jejak Raja Sisingamangaraja yang berada di sekitar Lae Simonggo mulai terungkap.
Menurut rencana semula, rombongan Raja Sisingamangaraja akan meneruskan perjalanan ke Tele terus ke Harian Boho. Namun, perjalanan tidak dapat dilanjutkan karena hutan rimba yang harus dilalui adalah rawa-rawa setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini sangat menyulitkan perjalanan, apalagi persediaan makanan semakin menipis. Ditambah lagi, di sepanjang hutan tidak ditemukan mata air yang dapat diminum. Akhirnya pasukan tetap bertahan di Lae Sibulbulon.
Ada sungai kecil di hulu Lae Simonggo yaitu Lae Sibulbulon dan di hilir Lae Simonggo bersatu dengan Simpang Kiri yang bermuara di Singkil Aceh. di sungai Sibulbulon inilah akhirnya perang berkecamuk. Pada perang ini Putri Lopian, putri raja Sisingamangaraja tewas tertembak. Melihat kejadian ini, Raja Sisingamangaraja lari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah untuk memlihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja Sisingamangaraja pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Dengan gugurnya Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907, maka perang dengan Belanda berakhir.
Banyak yang gugur dalam peperangan di Sibulbulon, termasuk Patuan Anggi dan Patuan Nagari yang keduanya adalah putra Raja Sisingamangaraja. Juga para prajurit, hulubalang dan panglima, termasuk panglima-panglima Aceh. Perang Aceh dan dan perang Batak bersamaan waktunya, hubungan Aceh dan Batak sangat harmonis sehingga Sultan Aceh mengirimkan beberapa panglima perangnya untuk diperbantukan dalam perang Batak.
Jenazah Raja Sisingamangaraja dan kedua putranya dibawa ke Tarutung dan dimakamkan secara rahasia di Kompleks Tangsi Serdadu Belanda. Sedangkan jasad Putri Lopian yang masih bernapas dibuang ke jurang, namun kemudian jenazahnya diambil dari jurang dan dihanyutkan ke Lae Simonggo yang bermuara di Singkil.
Walaupun perang Batak telah berakhir dengan wafatnya Raja Sisingamangaraja, namun di beberapa tempat di Kalasan Hulu perlawaran terus berlangsung secara sporadis. Pemberontakan-pemberontakan ini membuat desa-desa tidak aman, pembangunan terhalang dan rakyat tidak dapat mengerjakan sawah-ladangnya yang mengakibatkan kehidupan terpuruk. Ompu Halto sadar bahwa kekuatan Belanda tidak dapat ditandingi. Ia menganjurkan kepada seluruh rakyat Kalasan Hulu untuk menghentikan perlawanan.
Minggu, 01 Desember 2013
Penyebab Perselisihan Marga Simanjuntak Horbo Jolo dengan Simanjuntak Horbo Pudi
Raja Marsundung Simanjuntak adalah salah satu cucu dari Sibagot Ni Pohan, Sibagot Ni Pohan ini mempunyai empat orang anak:
1. Tuan Sihubil.
2. Tuan Somanimbil.
3. Tuan Dibangarna.
4. Raja Sonakmalela.
Tuan Somanimbil mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1. Somba Debata (Siahaan).
2. Raja Marsundung (Simanjuntak).
3. Tuan Maruji (Hutagaol).
Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar Laut boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang anak yaitu Raja Parsuratan.
Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan demikian sejak itu Si Raja Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). Dari isteri yang kedua ini lahirlah Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung kemudian kawin dengan marga Sirait.
Rupanya hubungan antara Raja Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru Sihotang kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada kecocokan/kerukunan, juga karena si Bapak selalu lebih memihak kepada isteri keduanya. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Raja Parsuratan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke kampung Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan.
Menurut cerita orang-orang tua, Raja Parsuratan cukup lama tinggal di Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di sana mengira dia bermarga Hasibuan. Kemudian Raja Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru Hasibuan. Beberapa lama kemudian Raja Parsuratan mendengar berita bahwa bapaknya, Raja Marsundung telah meninggal dunia. Raja Parsuratan kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan, Paindoan Balige. Di Balige inilah kemudian Raja Parsuratan menetap dan hidup berdekatan dengan ibu tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu serta dua orang anak perempuan.
Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru Sihotang, yaitu anak yang tertua (anak perempuan) sangat dekat dengan ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih membantu ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil.
Karena Raja Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya, maka dia tidak memiliki hubungan yang dekat dengan bapaknya, sehingga setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung kepada Raja Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan. Raja Parsuratan menganggap bahwa harta yang berupa satu ekor kerbau merupakan anak dari kerbau-kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar Laut boru Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i), yang disebabkan hanya karena memperebutkan seekor kerbau saja.
Tidak ada bukti maupun petunjuk (keterangan), yang dapat menjelaskan bahwa persengketaan disebabkan oleh harta¬ harta yang lain seperti sawah atau benda tidak bergerak lainnya. Sekali lagi sumber perselisihan hanya karena seekor kerbau.
Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Raja Parsuratan di satu pihak dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya di lain pihak, memiliki sawah masing-¬masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk membajak sawah). Sulit bagi kedua belah pihak untuk memanfaatkan tenaga kerbau yang hanya seekor itu secara bergiliran. Sampai saat ini tidak jelas ceritanya apakah kerbau yang satu ekor itu secara de facto berada dalam penguasaan Raja Parsuratan atau dalam penguasaan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya.
Akhirnya timbullah emosi (hona mara) Raja Parsuratan (konon kabarnya) yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru Sihotang. Tidak jelas kapan dan apa yang mengakibatkan putri sulung tersebut meninggal. Namun meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab dari pertikaian/perselisihan antara Raja Parsuratan (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Raja Mardaup-Raja Sitombuk-Raja Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung hingga saat ini. Perselisihan ini sebenamya sudah pernah dicoba untuk diselesaikan oleh saudara-saudara Raja Marsundung yaitu Siahaan dan Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun sampai saat ini belum terjadi penyelesaian.
Menurut pendapat Penulis, peristiwa meninggalnya putri sulung itu sengaja didramatisir oleh orang-orang tertentu yang ingin membuat perpecahan di antara turunan Raja Marsundung Simanjuntak hingga dewasa ini. Bahkan cerita tersebut sudah meluas karena dengan sengaja, cerita mengenai kematian putri sulung tersebut disebarkan ke marga-marga lain yaitu kepada marga-marga yang mempunyai kaitan perkawinan dengan marga Simanjuntak, terutama pihak boru.
Demikianlah salah satu contoh yang menunjukkan betapa tingginya kadar konflik pada orang Batak. Konflik yang disebabkan oleh faktor kultur yaitu konflik hubungan sosial (social conflict), ditambah lagi dengan ketidakcocokan diantara para pemimpin non-formal, diantara kedua belah pihak.
Konflik diantara marga Simanjuntak semakin memanas setelah adanya perbedaan kepentingan pada masa Orde Lama, yaitu pada tahun 1963. Pada waktu itu dilakukan pembuatan tugu Sobosihon boru Sihotang di Balige yang tujuannya adalah untuk kepentingan golongan tertentu yang ingin mengumpulkan massa. Pihak ini menggalang solidaritas di antara turunan dari nenek moyang Sobosihon boru Sihotang yang jumlahnya cukup banyak. Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak hingga terkenal istilah Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak Ri) yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak. Pendirian tugu ini dilaksanakan oleh tokoh-tokoh dari turunan Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu di bawah pimpinan Alm. Drs. Parlagutan Simanjuntak, yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Tapanuli Utara. Pendirian tunggu ini tidak mengikutsertakan atau mengundang turunan Raja Parsuratan. Tidak lama sesudah peresmian tugu, terjadi pemilihan Bupati Kepala daerah Tk II Tapanuli Utara dan pada saat itu Drs. Parlagutan Simanjuntak yang juga menjadi calon bupati secara tiba-tiba meninggal dunia. Oleh karena Drs. Parlagutan Parlagutan Simanjuntak meninggal dunia maka calon Bupati lainnya yaitu Kolonel Sinaga terpilih menjadi Bupati. Setelah tugu Sobo Sihon boru Sihotang didirikan, maka sejak itulah terbentuk perkumpulan Simanjuntak Sitolu Sada Ina.
Pada tahun 1968 telah dibentuk pula perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak yang anggotanya terdiri dari turunan dari Raja Marsundung Simanjuntak yang lengkap, yaitu Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu. Perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak merupakan suatu perkumpulan yang menyatukan seluruh keturunan dari Raja Marsundung Simanjuntak baik keturunan dari istri pertamanya, Taripar Laut boru Hasibuan, maupun dari istri keduanya, Sobosihon boru Sihotang.
Banyak lagi perselisihan-perselisihan di antara orang Batak yang membuat pergaulan sehari-hari menjadi tidak harmonis, antara lain marga Silalahi dengan marga Sihaloho, marga Panggabean dengan Marga Hutabarat, juga perselisihan di antara turunan Si Raja Lontung. Tetapi perselisihan tersebut tidak separah perselisihan diantara keturunan Raja Marsundung Simanjuntak.
Sebenarnya, jika teliti lebih jauh, semua masalah yang menjadi penyebab timbulnya konflik tersebut relative sepele (tidaklah prinsipil), namun akibatnya jelas terasa di dalam upacara-upacara adat Batak. Persoalan marga-marga ini sepertinya susah/sulit diselesaikan. Kurang harmonisnya pergaulan di kalangan orang Batak dapat mengakibatkan tidak optimalnya Dalihan Na Tolu. Oleh karena itu, pada jaman reformasi dan era globalisasi ini, perlu disosialisasikan paradigma baru Dalihan Na Tolu dengan melaksanakan prinsip sinergi dan prinsip win-win solution untuk mengefektifkan Dalihan Na Tolu membawa orang Batak menuju kesatuan dan persatuan.
Untuk menyelesaikan konflik/perselisihan perlu diaktifkan peranan Dalihan Na Tolu seperti misalnya musyawarah mufakat, runggun partukkoan (dialog, kompromi, rekonsiliasi) atau membuat Padan atau Janji, dengan berpegang pada prinsip win-win solution. Peranan Gereja juga penting untuk memfasilitasi usaha rekonsiliasi diantara marga-marga yang masih ada perselisihan diantara sesamanya.
Selasa, 12 November 2013
Biografi Ebiet G. Ade
Nama Asli :Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far
Tanggal Lahir : 21 April 1954
Tempat Lahir : Wanadadi, Jawa Tengah, Indonesia
Kewarganegaraan : Indonesia
Ayah : Aboe Dja’far
Pekerjaan Ayah : Pegawai Negeri Sipil
Ibu : Saodah
Pekerjaan Ibu : Pedagang kain
Suami/Istri : Koespudji Rahayu Sugianto
Anak-anak : Abietyasakti “Abie” Ksatria Kinasih, Aderaprabu “Dera” Lantip Trengginas, Byatriasa “Yayas” Pakarti Linuwih, Segara “Dega” Banyu Bening
Populer Sejak : Merilis album “Camellia III” (1980)
Album studio
Camellia I (1979)
Camellia II (1979)
Camellia III (1980)
Camellia 4 (1980)
Langkah Berikutnya (1982)
Tokoh-Tokoh (1982)
1984 (1984)
Zaman (1985)
Isyu! (1986)
Menjaring Matahari (1987)
Sketsa Rembulan Emas (1988)
Seraut Wajah (1990)
Kupu-Kupu Kertas (1995)
Cinta Sebening Embun (1995)
Aku Ingin Pulang (1995)
Gamelan (1998)
Balada Sinetron Cinta (2000)
Bahasa Langit (2001)
In Love: 25th Anniversary (2007)
Masih Ada Waktu (2008)
Tembang Country 2 (2009)
Sabtu, 09 November 2013
SI BORU NATINJO-AWAL TERJADINYA PULAU MALAU
AWAL TERJADINYA PULAU MALAU
Nantinjo adalah putri bungsu dari Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
dari sepuluh bersaudara, anak yang pertama adalah Raja Uti, ke dua
Saribu Raja, ke tiga Limbong Mulana, ke empat Sagala Raja, ke lima Lau
Raja sedangkan perempuan yang pertama adalah Biding Laut, ke dua Boru
Pareme, ke tiga Anting Haumasan, ke empat Sinta Haumasan dan ke lima
Nantinjo. Kita dapat berbicara langsung dengan Nantinjo melalui Nai
Hotni Boru Sagala yang tinggal di Cianjur Jawa Barat yang menjadi tempat
masuknya Roh Nantinjo (Hasorangan). Tujuan Nantinjo kembali kedunia
adalah untuk mengobati, membantu orang yang meminta pertolongan terlebih
keturunan dari Bapak dan Ibunya serta meluruskan sejarah asal mula
keturunan dari keluarganya dan mempersatukan kembali keturunan Bapaknya
Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon.
Semasa hidupnya, Nantinjo mengalami penderitaan yang cukup berat,
sebab ketika lahir kedunia ini saja dia tidak sempuma, dikatakan wanita
bukan, pria juga bukan.Pada saat umurnya sepuluh tahun kedua orang tua
Nantinjo telah di panggil Yang Kuasa. Semenjak ditinggal kedua orang
tuanya semakin beratlah penderitaan yang dialaminya. Nantinjo tinggal
bersama abangnya Limbong Mulana, karena yang tinggal dikampung pada saat
itu hanyalah ketiga abangnya Limbong Mulana, Sagala Raja serta Lau
Raja, sedangkan abangnya Raja Gumeleng-Geleng telah pergi dibawa oleh
Yang Kuasa kepuncak Gunung Pusuk Buhit. Abangnya yang nomor dua Saribu
Raja telah pergi juga merantau entah kemana rimbanya, dikarenakan adanya
skandal cinta dengan adiknya sendiri Boru Pareme.
Kemelut keluarga yang begitu hebat telah melanda keluarga Nantinjo
sehingga abangnya yang nomor tigalah yang harus bertanggung jawab atas
diri Natinjo sepeninggal kedua orang tuanya. Walaupun Nantinjo tinggal
dirumah abangnya sendiri, penderitaan yang dialaminya sangat berat
karena begitu besar tanggungjawab yang dibebankan abangnya terhadap
dirinya mulai dari mengurus rumah, mengasuh anak-anak, serta mencari
bahan makanan ke hutan. Dan yang membuat hati Nantinjo sangat menderita
apabila Nantinjo salah sedikit saja pastilah dia mendapat hukuman dari
abangnya. Siksaan demi siksaan diterima Natinjo hari lepas hari dari
abangnya tersebut. Meskipun begitu berat penderitaannya Nantinjo pasrah,
sebab tumpuan harapan pengaduannya telah pergi merantau entah kemana.
Nantinjo mempunyai keahlian bertenun, maklumlah pada saat itu dia
harus bertenun jika ingin mempunyai pakaian. Setiap bertenun, Nantinjo
selalu melantunkan syair lagu penderitaannya dengan berlinang air mata
sambil memohon kepada yang Kuasa agar ditunjukkan jalan padanya untuk
dapat keluar dari deritanya. Melihat dan mendengar penderitaan serta
jeritan hati Nantinjo, Yang Kuasa akhirnya menunjukkan jalan keluar
kepada Nantinjo. Pada suatu saat datanglah abangnya Lau Raja bertamu
kerumah Limbong Mulana, melihat adiknya sedang menangis hatinya sedih,
sebagai abangnya Lau Raja penasaran dan bertanya kepada sang adik,
mengapa engkau menangis Nantinjo? Namun pertanyaan abangnya itu bukan
membuat Nantinjo diam malah membuat tangisan Nationjo semakin keras. Lau
Raja pun mendekati adiknya, dipeluk dan dihibur adiknya dengan penuh
kasih sayang sambil bertanya ada apa gerangan yang membuat hati adiknya
begitu pilu dan sedih? Sadar bahwa abangnya begitu sayang kepadanya,
Nantinjo akhirnya menceritakan segala penderitaannya dan menunjukkan
luka dipunggungnya akibat siksaan yang kerap dilakukan abangnya Limbong
Mulana kepadanya.
Tanpa sadar Lau Raja memanggil nama ibunya“Sibaso Bolon” sambil
berujar “teganya kamu Ibu, membiarkan putri bungsumu mengalami
penderitaan yang begitu berat dan tidak berkesudahan”. Sambil membelai
adiknya, Lau Raja mengajak Natinjo pergi dari rumah Limbong Mulana dan
ia berjanji akan menyayangi Natinjo. Mendengar ucapan dan janji
abangnya, Nantinjo langsung mengikuti ajakan Lau Raja. Akhirnya Lau Raja
membawa Nantinjo ke Simanindo Pulau Samosir tempatnya tinggal .Semenjak
tinggal dengan Lau Raja. Nantinjo merasa senang, tenang dan bahagia.
Nantinjo diberi kebebasan untuk melakukan kesenangannya bertenun
walaupun abangnya miskin .
Hari lepas hari berganti, tak terasa Nantinjo sudah mulai
berkembang menjadi gadis remaja yang anggun, cantik dan bersahaja.
Kecantikan wajah dan sikap Nantinjo yang tidak pernah membedakan
teman-temannya semakin menambah harum namanya terlebih dikalangan
pemuda. Nantinjo menjadi gadis pujaan semua lelaki baik dikampungnya
maupun dari kampung seberang danau toba. Seorang pemuda dari
perkampungan (Huta) Silalahi sangat tertarik kepada Nantinjo dan ingin
menjadikannya sebagai pendampingnya seumur hidup. Tanpa mengadakan
pendekatan kepada Nantinjo, pemuda tersebut langsung meminta kedua orang
tuanya untuk segera meminang Nantinjo. mendengar permintaan sang anak,
orang tua pemuda tersebut sangat senang dan bangga ternyata putra mereka
bemiat meminang bunga desa dari Simanindo.
Tanpa membuang banyak waktu, pihak keluarga tersebut akhirnya
berangkat beserta rombongan ke rumah Lau Raja. Dengan maksud untuk
meminang Nantinjo yang akan dijadikan istri dari putranya. Setelah
mendengar dan mendapat pinangan tersebut, Lau Raja mengundang kedua
abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja untuk mengadakan rapat keluarga,
untuk menentukan apakah pinangan tersebut diterima atau tidak.
Ternyata, kedua abangnya mempunyai pendapat yang sama yaitu
menerima pinangan tersebut. Namun Lau Raja berpendapat bahwa Nantinjo
yang harus menentukan keputusan itu, diterima atau tidaknya lamaran
tersebut. Kemudian mereka memanggil Nantinjo untuk hadir dalam rapat
keluarga tersebut, dan mempertanyakan kepada Natinjo apakah ia bersedia
menerima pinangan pihak laki-Iaki dari seberang danau toba itu? Sadar
akan keberadaan dirinya yang laki-laki bukan perempuan juga bukan dengan
spontan Nantinjo menjawab bahwa dirinya belum siap untuk berumah
tangga. Dengan alasan Natinjo ingin menyelesaikan tenunannya terlebih
dahulu agar dia bisa memakainya suatu saat nanti jika ia telah siap
untuk berumah tangga.
Namun abangnya Limbong Mulana tidak memperdulikan jawaban Nantinjo
dan tidak memberikan kesempatan kepada Nantinjo untuk menolak. Katanya
“kamu harus menerima pinangan tersebut”. Mendengar paksaan dari abangnya
itu tanpa sadar air mata Nantinjo menetes dipipi, dia berpikir tidak
akan bisa melawan keinginan abangnya Limbong Mulana. Nantinjo
melayangkan pandangan kepada abangnya Lau Raja dengan harapan dapat
membela dirinya, namun Lau Raja pun tidak dapat membela adik yang sangat
disayanginya itu karena dia sendiripun takut akan amarah abangnya
Limbong Mulana. Melihat situasi seperti itu Nantinjo hanya dapat
menangis dan menjerit meratapi nasibnya dalam hati.
Hanya Nantinjo sendiri yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Ketiga abangnya tidak mengetahui bahwa Nantinjo tidak sempurna
dilahirkan kedunia ini sebagai seorang wanita. Nantinjo menolak karena
dia menyadari bahwa dia tidak akan dapat membahagiakan calon suaminya
dikemudian hari. Nantinjo berusaha berpikir keras, alasan apalagikah
yang tepat untuk dapat menolak lamaran tersebut.
Nantinjo terus berfikir, berusaha mencari alasan untuk menolak
lamaran tersebut. Akhirnya dia mendapat ide dan mengatakan kepada
abangnya: “Saya bersedia menerima pinangan dengan syarat pihak laki-laki
itu harus dapat menyediakan emas satu perahu penuh serta uang ringgit
satu perahu penuh” Mendengar persyaratan yang diberikan Nantinjo
ternyata orang tua calon suaminya siap memenuhi permintaannya itu,
bahkan calon mertuanya mengatakan lebih dari permintaanmu kami dapat
kami penuhi.
Setelah kedua belah pihak sepakat, pihak lelaki kembali ke
kampungnya diseberang Pulau Samosir. Keesokan harinya, pihak laki-laki
itupun datang kembali beserta rombongan dengan membawa persyaratan yang
diminta Nantinjo, yaitu emas satu perahu dan ringgit satu perahu.
Melihat emas satu perahu dan ringgit satu perahu keserakahan
Limbong Mulana timbul, sikapnya langsung berubah lembut kepada Nantinjo.
Dengan lembut Limbong Mulana mengatakan kepada adiknya “sekarang kamu
tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pinangan calon suamimu itu
adikku, sebab calon mertuamu sudah memenuhi permintaanmu disaksikan
ketiga abang¬-abangmu serta khalayak ramai. Begitu tulusnya calon
mertuamu menjadikan kamu sebagai menantu, dan sebagai abangmu yang
tertua diantara kami, aku memutuskan bahwa kamu harus berangkat saat ini
juga ikut dengan suamimu, Doa Restu dari kami abang-abangmu menyertai
keberangkatanmu. Kami mendoakan kiranya Tuhan memberikan kebahagian
lahir maupun batin kepada kamu” kata Limbong Maulana panjang lebar.
Dengan hati yang hancur Nantinjo menatap abangnya satu persatu
sambil berkata kepada abangnya Lau Raja : “Jikalau memang saya harus
berangkat untuk berumah tangga dengan calon suami saya yang bukan
pilihan hati saya, tetapi dikarenakan godaan emas dan ringgit satu
perahu, ternyata kalian tega memaksa saya untuk berumah tangga, bagiku
tidak ada pilihan kecuali menerima namun permintaanku pada abang:
”Kumpulkanlah semua apa yang menjadi milikku termasuk alat yang selalu
kupakai untuk bertenun. Bambu turak ini tempat benang tenunku tolong
tanamkan di ujung desa ini, suatu saat nanti semua keturunan Bapak dan
Ibuku akan melihat dan mengingat saya yang penuh dengan penderitaan.”
Lau Raja memenuhi permintaan adiknya dan berjanji akan
melaksanakannya. Nantinjopun akhirnya menaiki perahu kesayangannya dan
berangkat meninggalkan kampung itu mengikuti rombongan calon suaminya.
Sambil mendayung perahu hati Nantinjo terus gusar. Dia tidak dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi setelah sampai dikampung calon
suaminya nanti. Kegundahan dan kekalutan pikiran Nantinjo tidak
menemukan jawaban, kemudian Nantinjo memohon dan berseru kepada ibunya
Sibaso Bolon, “Bu, mengapa ini harus terjadi, seandainya dahulu ibu
cerita kepada semua abangnya tentang keadaan Natinjo yang sebenarnya,
mungkin ini tidak akan terjadi. lbulah yang bersalah serta Limbong
Mulana yang tergoda dengan emas dan ringgit satu perahu”. Dengan hati
yang sangat pilu Nantinjo bertanya kepada Ibunya, “masihkah lbu sayang
pada putrimu ini? kalau lbubenar-benar masih sayang dengarkanlah jeritan
hati putrimu ini yang pal¬ing dalam. lbu! saya tidak mau berumah tangga
sebab itu hanya akan membuat aib dikeluarga, Putrimu ini rela berkorban
demi nama baik keturunan Bapak dan lbu di kemudian hari. Saya tahu ibu
dapat berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa, Pintalah kepada Yang
Kuasa agar saya lepas dari penderitaan ini dan persatukanlah saya dengan
ibu”. Mendengar jeritan sang putri yang sangat memilukan hati, ibunya
pun meminta kepada Yang Kuasa. Maka seketika itu juga turunlah hujan
yang sangat lebat, angin dan badaipun datang menerjang perahu Nantinjo.
Gemuruh ombak disertai halilintar turut menangis melihat penderitaan
Nantinjo. Akhirnya perahu Nantinjopun tenggelam ditelan ombak danau
toba. Nantinjo menemui ajalnya seketika itu juga. Ketiga abangnya yang
menyaksikan hal itu merasa bersalah serta takut.
Bahkan setelah Limbong Mulana memeriksa emas dan ringgit satu
perahu yang diberikan calon suami adiknya ternyata hanya diatasnya saja
emas dan ringgit dibawahnya hanya gundukan pasir dan tanah. Penyesalan
yang timbul selalu datang terlambat, apa mau dikata Nantinjo sudah
tenggelam ke dasar danau toba.
Keesokan harinya disaat orang masih tertidur pulas Lau Raja pergi
kepantai tempat perahu Nantinjo diberangkatkan dengan harapan dapat
menemukan adiknya hidup maupun mati. Ditelusurinya sepanjang pantai
namun tidak ditemukan jasad adiknya. Sambil menangis tersedu-sedu Lau
Raja meminta dalam hatinya kepada Yang Kuasa agar jasad adik yang
disayanginya dapat ditemukan.
Sayup-sayup Lau Raja mendengar bisikan: “Adikmu Nantinjo sudah saya
bawa ketempat yang aman, sekarang dia bersama ibumu. Anakku hapuslah
air matamu, dan lihatlah ketempat dimana perahu adikmu tenggelam, disitu
kau akan melihat satu keajaiban dunia, perahu adikmu akan muncul
kembali berupa pulau.“ Inilah sebagai pertanda bagi keturunanku di
kemudian hari betapa tulus dan mulia pengorbanan adikmu, tidak pernah
mau membuat saudaranya malu dan terhina dihadapan orang“.
Tiba-tiba Lau Raja tersadar dan melihat dimana perahu adiknya
tenggelam, dengan rasa kaget dia melihat apa yang dibisikkan oleh
ibunya.Timbulnya pulau itu membuat Lau raja merasa adiknya Nantinjo
serasa hidup kembali, dan dia berjanji pada diri sendiri bahwa ia
beserta seluruh keturunannya harus menjaga dan merawat serta menyayangi
pulau itu, sebagaimana dia menyayangi adiknya.Lau Raja memberi nama
pulau itu“PulauMalau”.
TURUNNYA ROH NANTINJO
Setelah Nantinjo tenang bersama ibunya disisi Yang Kuasa, pada
suatu hari ibunya meminta Nantinjo untuk turun kebumi untuk melihat
keturunan ibunya. Itulah pertama sekali Nantinjo menumpang ke tubuh
orang (marhuta¬ hula) di desa sagala. Pada saat itu ada seorang ibu,
istri dari marga sagala sedang pendarahan dan Nantinjo menumpang ke
tubuh orang yang kurang waras. Nantinjo meminta air untuk menyembuhkan
si ibu namun orang-orang yang ada dirumah itu berserta keluarga si ibu
tersebut mengatakan bagaimana kamu bisa membantu, kamu saja kurang
waras, namun Nantinjo tetap meminta air, akhirnya mereka memberikan air
yang diminta Nantinjo dan dia mengobati si ibu.
Betapa herannya orang yang ada dirumah itu karena si ibu dapat
sembuh. Akhirnya mereka bertanya “siapa kamu sebenarnya, lalu Nantinjo
menjawab: saya adalah namboru kalian Nantinjo” mereka menjawab
Nantinjokan sudah tenggelam, tetapi Nantinjo menjawab bahwa Rohnyalah
yang menumpang pada orang yang kurang waras tersebut serta mengatakan
“Jikalau kalian butuh bantuan panggillah namaku, terlebih kalau di danau
toba. Natinjo juga berpesan kepada mereka, kalau telur ayam kalian
mengecil jangan kalian takut sebab akulah yang meminta, kalau padimu
tertinggal disawah dan tidak dapat kamu panen akulah yang memintanya.
Kemudian Nantinjo kembali lagi kesisi ibunya.
Melihat keturunannya (pomparan) semakin berantakan serta sering
memanggil-manggil nama putrinya Akhirnya Ibunya Sibaso Bolon meminta
Nantinjo kembali ke dunia untuk membantu keturunannya dan mengupayakan
untuk mempersatukan kembali keturunan ibunya.
Sekarang Nantinjo dapat kita temui melalui nai Hotni yang ada di
Cianjur untuk meminta pertolongan ataupun menggali sejarah Pomparan Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon. Sebelumnya nai Hotni juga tidak mengetahui
kalau dirinya telah dipilih Nantinjo sebagai hasorangan (yang
menggendong Nantinjo). Memang semenjak kecil telah terjadi keanehan yang
selalu dibuat nai Hotni melalui Nantinjo. Pada usia empat tahun nai
Hotni telah menyembuhkan seorang gadis yang sakit parah bahkan sudah
divonis dokter tidak panjang umur. Saat ini gadis yang divonis harus
meninggal itu masihlah hidup dan umurnya kira-kira 60 tahun kurang
lebih. Dan gadis itu berada di daerah sidikalang, tepatnya di sumbul.
Dan yang lebih aneh jikalau nai Hotni marah ataupun sedang kesal diwaktu
kecil cukup diberikan sebuah jeruk purut, maka amarah dan kesalnya akan
hilang, tidak seperti kebiasaan anak lainnya yang dapat dibujuk dengan
permen atau mainan.
Nai Hotni adalah hasorangan namboru Nantinjo yang ke Lima. Yang
pertama gadis yang kurang waras di desa sagala meskipun hanya
sekejap,yang kedua sampai ke empat namboru memilih dari boru Limbong,
boru sagala dan boru malau. Sebelum nai Hotni resmi menjadi hasorangan
Nantinjo kehidupannya sangat menderita. Kalau kita mendengar ceritanya
hampir mirip dengan penderitaan Nantinjo, semenjak merantau tahun 1994
ke pulau Jawa, tepatnya Jawa Barat kehidupan keluarga nai Hotni sangat
menderita. Adapun tujuan mereka merantau untuk merubah nasib namun
ternyata justru penderitaan yang datang silih berganti.
Pada saat itu nai Hotni dengan suaminya hidup dari berdagang. Agar
dagangannya laris mereka mencoba meminta bantuan kepada orang pintar
(Dukun), orang pintar tersebut mengatakan bahwa nai Hotni tidak perlu
minta bantuan karena ada yang mengikutinya, nai Hotni pun menoleh dan
menjawab tidak ada yang mengikuti saya! Sang dukun mengatakan bahwa dia
diikuti wanita yang berjubah putih. Semakin penasaran nai Hotni lalu
bertanya siapa? Namborumu jawab dukun itu, wong namboru saya masih hidup
jawab Nai Hotni sang dukun tersebut menjawab, yang diatas, karena
bingung Nai Hotnipun akhirnya pulang.
Suatu ketika, si Hotni demam lalu nai Hotni membawa anaknya ke
dukun untuk minta diobati namun sang dukun tidak mau memberikan dengan
alasan tidak mampu mengobati karena dihalang-halangi wanita berjubah
putih. Sang dukun mengatakan hanya pakai air liur ibu saja anak ibu
sehat, karena bingung dan bercampur kesal ia pun pun pulang kerumah.
Sesampai dirumah sambil tiduran menjaga si Hotni, dia teringat apa yang
dikatakan dukun tadi, lalu Nai Hotni mengusapkan liurnya kedahi
putrinya, setelah diusapkan ternyata panas si Hotni benar-benar hilang.
Akhir tahun 1995 nai Hotni jatuh sakit, dokter sudah menyatakan
tidak sanggup untuk menyembuhkan nai Hotni, suaminya sangat bingung mau
dibawa kemana istri tercintanya? dibawa berobat sementara penghasilanpun
sudah tidak ada, disaat sang suami sudah pasrah datanglah seorang ibu
menganjurkan agar nai Hotni mengurus namboru yang selalu mengikutinya.
Ibu itu juga mengatakan ia hanya dapat memberikan jeruk purut (anggir)
ini untuk diminum. nai Hotnipun meminum jeruk purut tersebut dan
kesehatannya pun mulai membaik.
Kemudian sang suami memutuskan untuk mengadakan gondang (gendang)
dikampung, namun tidak mungkin dilakukan karena pada saat itu karena nai
Hotni sedang hamil tua. Karena tidak jadi mengadakan gondang, kehidupan
nai Hotni semakin runyam dan tersiksa. Akibat rasa sakit yang tidak
tertahankan lagi akhirnya ama nihotni pun memutuskan untuk segera
mengadakan gondang tahun 1997 di kampung. Setelah mengadakan gondang
barulah datang Namboru Paraek Bunga-bunga setelah itu baru Namboru
Nantinjo datang ke nai Hotni.
Memanggil namboru Nantinjo harus terlebih dahulu memanggil Namboru
Paraek Bunga-bunga sebab kesucian Namboru Nantinjo lebih tinggi, tidak
boleh Nai Hotni langsung memanggil Namboru Nantinjo. Inilah satu
pertanda dimana namboru Nantinjo yang sebenarnya.
Pada tahun 1999 Namboru Nantinjo mengadakan gondang di Buhit pulau
Samosir. Pada saat itu sesepuh dari marga Limbong tidak memberikan ijin
dikarenakan tidak pernah ada yang dapat mengadakan gondang ditempat itu
katanya! Lalu namboru menjawab, kenapa kamu melarang sayamembuat gondang
di kampung saya sendiri? kalau yang lain bisa kamu larang, tetapi saya
tidak boleh kamu larang! Akhirnya sesepuh limbong tidak dapatberbuat
apa-apa gondang pun dilaksanakan. Gondang tersebut berjalan dengan
lancar dan sejak saat itulah orang-orang yang membawakan nama Namboru
Nantinjo mengadakan acara gondang dibuhit.
Satu tahun kemudian Namboru Nantinjo mengadakan gondang di
Simanindo tepatnya tanggal 9 Juni 2000, untuk Patappehon Oppung Silau
Raja kepada hasorangannya Nai Dianto boru Sidauruk Istri dare Ama Dianto
Malau yang sekaligus menjaga Bulu Turak Namboru Nantinjo. Melalui
hasorangan namboru Nantinjo nai Hotni boru sagala, acara patappehon
oppung Silau Raja berjalan dengan lancar.
NAMBORU MENGADAKAN GONDANG DI TAMAN MINI INDONESIA INDAH
Untuk mempersatukan seluruh keluarga dari saudaranya laki-Iaki
(ibotonya) namboru Nantinjo mengadakan Pesta Budaya Batak di Taman Mini
Indonesia Indah (TMIl) pada tanggal 7 Oktober 2000. Seluruh keturunan
(pomporan) ibotonya pada saat itu hadir dalam acara tersebut. Pada
kesempatan itu namboru Nantinjo menceritakan riwayat hidupnya, serta
memperagakan bagaimana dia tenggelam di danau toba. Seluruh keturunan
ibotonya itu sangat antusias ingin mengetahui sejarah yang sebenarnya.
Namboru Nantinjo selalu menjawab apa yang dinginkan keturunan
ibotonya. Pada saat acara berlangsung terjadi keajaiban yang luar biasa,
turunnya hujan yang sangat deras disertai angin yang sangat kencang.
Ternyata penguasa alam gaib datang bertanya kepada Nantinjo siapa kamu
berani-berani membuat acara ditempat saya? Nantinjo menjawab, saya
keturunan Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon. Abang saya Raja Uti, Saribu
Raja,Limbong Mulana dan Sagala Raja. lalu Nantinjo balik bertanya, siapa
gerangan penguasa alam gaib yang datang? Yang ditanya hanya diam seribu
bahasa. Namun dia menangis sepertinya ikut merasakan kepedihan hati
Nantinjo. Karena tidak ada jawaban dari penguasa alam gaib tersebut,
Nantinjo akhirnya berkata: “siapapun kamu yang datang ini, saya mohon
jangan ganggu acara yang sedang saya lakukan, dan saya harap kamu
bersedia membantu saya mengembalikan pulau malau yang telah diambil oleh
orang lain”. Penguasa alam gaib itu tetap diam namun tidak bergeming
dari tempatnya, acarapun dilanjutkan kembali.
Ketika sedang asik menari (manortor) tiba-tiba namboru Nantinjo
mendadak datang dan bercerita kembali sambil bertanya kepada keturunan
ibotonya, apakah mereka mau membantu dia untuk mengembalikan pulau
malau? serempak keturunan ibotonya menyanggupi permintaan Nantinjo.
Setelah semua keturunan ibotonya menyanggupi permintaan Nantinjo
ditentukanlah kapan dan bagaimana cara pengembalian pulau malau. Setelah
berunding, ditentukanlah siapa yang ditunjuk sebagai perwakilan untuk
menemui keluarga sidauruk, dan selanjutnya akan diadakan gondang di
pulau Malau setelah urusan dengan Marga Sidauruk selesai.
Utusan yang sudah ditentukan berangkat menuju rumah Sidauruk
tanggal 02 Pebruari 2002 untuk membicarakan surat-surat pulau
Malau,namun pihak Sidauruk meminta agar mereka membawa perwakilan malau
yang ada di Simanindo dua atau tiga orang, jikalau sudah ada, maka
utusan Malau dari simanindo pihak sidauruk akan memberikan surat-surat
pulau Malau.
Utusan yang dikirim meminta ijin kepada pihak Sidauruk untuk
mengadakan gondang di pulau malau, dan hal itupun disetujui. Sambil
menunggu Malau dari simanindo dapat diundang untuk dapat bertemu dengan
pihak sidauruk.
MENGEMBALIKAN PULAU MALAU
Setelah ada ijin dari pihak Sidauruk maka pada Tanggal 28-30 Juni
2001 diadakanlah gondang dipulau malau sebagai tanda bahwa pulau malau
telah kembali sekaligus mempersatukan keturunan orang tuanya Guru Tatea
Bulan/Sibaso Bolon. Semua keturunan iboto Nantinjo hadir dalam acara
tersebut, bahkan hadir hasorangan yang jumlahnya delapan belas orang
yang membawakan nama Nantinjo datang pada saat itu.
Ketika acara sudah dimulai hasorangan yang membawakan Nantinjo
mulai kesurupan satu-persatu, namun namboru Nantinjo yang sebenarnya
belum datang. Diperkirakan ia sedang memantau apa saja yang dikatakan
oleh orang¬-orang yang mengaku sebagai hasorangannya, karena jikalau
benar sebagai hasorangan, Nantinjo harus tau apa yang dikatakan serta
apa yang harus diperbuat dalam acara tersebut. Begitu hebatnya
perdebatan yang terjadi pada saat itu antara yang mengaku hasorangan
Nantinjo dengan keturunan iboto Nantinjo, akhirnya Nantinjo datang
melalui nai Hotni. Ia mengumpulkan orang¬-orang yang mengaku sebagai
hasorangan Nantinjo, dia mengatakan “bahwa mereka adalah sebahagian yang
membawa tas (hajut) serta pengawal Nantinjo. kemudian Nantinjo meminta
mereka semua menangis di hadapan yang hadir di acara tersebut.
Semua yang mengaku hasorangan Nantinjopun menangis, lalu Nantinjo
menyuruh panuturinya (penterjemah) ama nihotni untuk mempersiapkan
napuran (debban) untuk dibagi-bagikan kepada mereka sebagai upah. Tanpa
sepengetahuan keturunan ibotonya, Nantinjo melakukan semua itu kepada
orang-orang yang mengaku hasorangannya dengan tujuan supaya keturunan
ibotonya itu mengetahui siapa sebenarnya yang dipilihnya menjadi
hasorangannya dan sebagai tambahan yang sangat renting. Untuk menambah
pengetahuan para pembaca bahwa tikar tempat duduk namboru Nantinjo harus
tiga lapis yang mempunyai arti bahwa namboru Nantinjo sudah menjalani
Banua Toru (tenggelam didanau toba) Banua Tonga (semasa hidupnya) dan
Banua Gijang (menghadap Yang Kuasa).
Tujuan mulia yang dilakukan Nantinjo kepada keturunan ibotonya,
ternyata disalahartikan oleh keturunan ibotonya. Pulau malau yang
seharusnya sudah kembali kepada si pemilik menjadi permasalahan kembali
karena pihak sidauruk tidak mau lagi memberikan surat-surat pulau malau
karena keturunan iboto Nantinjo. bahkan kabarnya sebahagian pihak malau
saat ini berusaha agar hasorangan namboru nantinjo harus boru malau.
Berbagai cara dilakukan malau yang ada di simanindo untuk
menggagalkan kembalinya pulau malau, yang seharusnya sesuai dengan janji
atau sumpah kakeknya ketika melihat pulau malau pertama kali harus
mereka laksanakan. Kita saja kalau makam orang tua kita diserobot orang
kita pastilah marah. Mengapa pulau malau sebagai pertanda dari leluhur
kita tidak kita rawat sebaik mungkin, malah saat ini justru orang lain
yang memilikinya. Tidak tertutup kemungkinan hal ini yang membuat
keturunan Oppu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon semakin susah hidupnya.
Pernahkah kita menyadari hal ini. Hal ini juga yang membuat namboru
Nantinjo setengah hati untuk membantu keturunan dari ibotonya karena
Nantinjo merasa sedih kita keturunan ibotonya membiarkan sibuk-sibuk
(daging) namboru kita dikuasai orang lain.
Tidak tertutup kemungkinan semakin menderita kehidupan masyarakat
Batak disekitar Danau Toba serta pulau samosir saat ini disebabkan Pulau
malau dikuasai marga Sidauruk serta kurangnya perhormatan yang kita
lakukan terhadap leluhur. Coba kita kilas balik ke belakang, zaman Nahum
Situmorang almarhum, beliau sampai berani menciptakan lagu pulau
Samosir yang terkenal dengan kacangnya serta padinya, Tao Toba, Parapat
sebagai Kota turis. Sekarang apa yang kita lihat tidak ada perkembangan
bahkan dapat kita katakan lagu-Iagu ciptaan Bang Nahum Situmorang untuk
saat ini tidak berlaku lagi melihat kondisi pulau samosir dan Danau
Toba, coba kita renungkan dan kita benahi.
Pesta Mempersatukan Keturunan Ompu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
Mangkaroani Air Batu Sawan Ompu Raja Uti
Tanggal 17-18-19 Juni 2002
Pada Tanggal 17-19 Juni 2002 namboru Nantinjo mengadakan gondang
selama tiga hari-tiga malam untuk mempersatukan keturunan abangnya
didesaParik Sabungan Limbong Sianjur Mula-mula. Sesuai dengan adat yang
telah berlaku. Undangan yang telah disebarkan kepada keturunan Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon dengan Pemerintah setempat Bupati, Camat,
Kepala Desa serta Raja Adat turut menghadiri acara tersebut.
Dalam acara tersebut keturunan Ompu Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon
memberikan kenang-kenangan berupa Ulos Batak kepada robongan
Bupatibeserta jajarannya serta memberikan buku sejarah Nyi Roro Kidul
yang menceritakan bahwa dia adalah Putri sulung dari Raja Batak, Guru
Tatea Bulan/Sibaso Bolon yang bernama Biding Laut. Selanjutnya Bupati
memberikan bantuan sebagai tanda turut berpartisipasi. Pada malam
harinya yang hadir meminta kepada nai Hotni boru Sagala untuk memanggil
namboru Nantinjo untuk bercerita kepada keturunan abangnya.
Setelah acara ritual dilaksanakan namboru Nantinjo datang dan
bercerita bahwa abangnya Saribu Raja dan Lau Raja telah kembali ke
kampung halamannya karena keturunannya telah bersatu hati. Katanya “ Ia
sangat bahagia melihat abangnya telah melihat kalian telah bersatu”.
Keturunan abangnya pun mengucapkan terima kasih kepada namboru meminta
kepada Oppung agar memberkati kami keturunannya.
Keesokannya, dipagi hari, tanpa sepengetahuan seorangpun melalui
hasorangannya A. Raja Limbong dari sidikkalang Oppu Raja Uti datang dan
menceritakan kegembiraan serta kebahagiannya melihat keturunannya telah
bersatu.
Asal Usul Nyi Roro Kidul
MENGUAK ASAL USUL KANJENG RATU KIDUL
AGUS SISWANTO DAN EKA SUPRIATNA
Pada tgl. 6 Februari 2008 lalu, Misteri mendapat undangan seorang rekan
bernama Malau. Beliau mengajak Misteri untuk mengikuti ritual di
Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sebuah ritual untuk mengungkap asal usul
Kanjeng Ratu Kidul. Tentu saja tawaran itu Misteri sambut hangat.
Terlebih ketika dia mengatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul berasal dari
Tanah Batak.
Sejauh
ini terdapat berbagai pendapat seputar asal usul sosok Kanjeng Ratu
Kidul. Ada yang mengatakan, Kanjeng Ratu Kidul sesungguhnya adalah Ratu
Bilqis, isteri Nabi Sulaiman Alaihissalam. Dikisahkan, setelah wafatnya
Nabi Sulaiman as., Ratu Bilqis mengasingkan dirinya ke suatu negeri. Di
sana beliau bertapa hingga moksa atau ngahyang.
Legenda
lain seputar Kanjeng Ratu Kidul adalah Dewi Nawang Wulan, sosok
bidadari yang pernah diperisteri Jaka Tarub. Sedangkan kisah lain tidak
secara spesifik menyebutkan asal Kanjeng Ratu Kidul, kecuali dia puteri
seorang raja di Tanah Jawa.
Sinyalemen
Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak bukannya tanpa alasan. Isu
ini pertama kali dibicarakan tahun 1985, ketika dalam suatu acara adat
Batak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), beberapa orang mengangkat
masalah ini. Tetapi rupanya tidak terlalu mendapat respon yang hadir.
Isu pun tenggelam dengan sendirinya.
Ketika
Misteri membuka internet, hanya terdapat satu situs yang menyinggung
masalah ini. Itupun hanya dalam beberapa baris kalimat saja. Demikian
kutipannya:
“Ini
dia cerita tentang Ratu Laut Selatan yang dipercaya sebagian orang
sebagai Biding Laut, saudara dari Saribu Raja yang notabene adalah
keturunan Raja Batak.…tapi baca dulu kisahnya ya… siapa tau Nyi Roro
Kidul emang keturunan Raja Batak”. (23 desember 2004)
http://mappa.blogspot.com/2004/12/nyi-roro-kidul-dari-batak.htmlHanya sekilas saja kalimat yang menyinggung Kanjeng Ratu Kidul sebagai orang Batak.
Padahal,
sebagaimana diungkapkan Silalahi, di daerah Samosir ada seorang wanita
yang kerap kali kemasukan roh Kanjeng Ratu Kidul. Wanita bernama Boru
Tumorang ini sering mengaku sebagai Kanjeng Ratu Kidul ketika sedang trance. Itulah sebabnya, Boru Tumorang sengaja didatangkan ke Jawa untuk mengikuti ritual menguak asal usul Kanjeng Ratu Kidul.
LEGENDA BIDING LAUT
Sebelum
melakukan perjalanan ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Misteri menyempatkan
diri berbincang-bincang dengan Silalahi (40 thn), spiritualis yang akan
memimpin ritual tersebut.
“Legenda
asal usul Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak ini tidak lepas
dari kisah Raja-raja Batak,” demikian Silalahi memulai ceritanya.
Dikisahkan,
perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua
orang putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan kedua diberi
nama Raja Isumbaon.
Putra
sulungnya, yakni Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak (5 putera dan 6
puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana,
Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri bernama: Biding Laut,
Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.
Putri
tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik perempuan
lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada
orangtuanya. Karena itu, Biding Laut tergolong anak yang paling
disayangi kedua orangtuanya.
Namun,
kedekatan orangtua terhadap Biding Laut ini menimbulkan kecemburuan
saudara-saudaranya yang lain. Mereka lalu bersepakat untuk menyingkirkan
Biding Laut.
Suatu
ketika, saudara-saudaranya menghadap ayahnya untuk mengajak Biding Laut
jalan-jalan ke tepi pantai Sibolga. Permintaan itu sebenarnya ditolak
Guru Tatea Bulan, mengingat Biding Laut adalah puteri kesayangannya.
Tapi saudara-saudaranya itu mendesak terus keinginannya, sehingga sang
ayah pun akhirnya tidak dapat menolaknya.
Pada
suatu hari, Biding Laut diajak saudara-saudaranya berjalan-jalan ke
daerah Sibolga. Dari tepi pantai Sibolga, mereka lalu menggunakan 2 buah
perahu menuju ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Marsala, dekat Pulau
Nias.
Tiba
di Pulau Marsala, mereka berjalan-jalan sambil menikmati keindahan
pulau yang tidak berpenghuni tersebut. Sampai saat itu, Biding Laut
tidak mengetahui niat tersembunyi saudara-saudaranya yang hendak
mencelakakannya. Biding Laut hanya mengikuti saja kemauan
saudara-saudaranya berjalan semakin menjauh dari pantai.
Menjelang tengah hari, Biding Laut merasa lelah hingga dia pun beristirahat dan tertidur. Dia sama sekali tidak menduga
ketika dirinya sedang lengah, kesempatan itu lalu dimanfaatkan
saudara-saudaranya meninggalkan Biding laut sendirian di pulau itu.
Di
pantai, saudara-saudara Biding Laut sudah siap menggunakan 2 buah
perahu untuk kembali ke Sibolga. Tetapi salah seorang saudaranya
mengusulkan agar sebuah perahu ditinggalkan saja. Dia khawatir kalau
kedua perahu itu tiba di Sibolga akan menimbulkan kecurigaan. Lebih baik
satu saja yang dibawa, sehingga apabila ada yang menanyakan dikatakan
sebuah perahunya tenggelam dengan memakan korban Biding Laut.
Tapi apa yang direncanakan saudara-saudaranya itu bukanlah menjadi kenyataan, karena takdir menentukan lain.
BIDING LAUT DI TANAH JAWA
Ketika terbangun
dari tidurnya, Biding Laut terkejut mendapati dirinya sendirian di
Pulau Marsala. Dia pun berlari menuju pantai mencoba menemui
saudara-saudaranya. Tetapi tidak ada yang dilihatnya, kecuali sebuah
perahu.
Biding
laut tidak mengerti mengapa dirinya ditinggalkan seorang diri. Tetapi
dia pun tidak berpikiran saudara-saudaranya berusaha mencelakakannya.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menaiki perahu itu dan mengayuhnya
menuju pantai Sibolga.
Tetapi
ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahirannya.
Selama beberapa hari perahunya terombang-ombang di pantai barat
Sumatera. Entah sudah berapa kali dia pingsan karena kelaparan dan udara
terik. Penderitaannya berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah
Jawa, sekitar daerah Banten.
Seorang
nelayan yang kebetulan melihatnya kemudian menolong Biding Laut. Di
rumah barunya itu, Biding Laut mendapat perawatan yang baik. Biding Laut
merasa bahagia berada bersama keluarga barunya itu. Dia mendapat
perlakuan yang sewajarnya. Dalam sekejap, keberadaannya di desa itu
menjadi buah bibir masyarakat, terutama karena pesona kecantikannya.
Dikisahkan,
pada suatu ketika daerah itu kedatangan seorang raja dari wilayah Jawa
Timur. Ketika sedang beristirahat dalam perjalanannya, lewatlah seorang
gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik
perhatian Sang Raja. Karena tertariknya, Sang Raja mencari tahu sosok
jelita itu yang ternyata Biding Laut. Terpesona kecantikan Biding Laut,
sang raja pun meminangnya.
Biding Laut tidak menolak menolak pinangan itu, hingga keduanya pun menikah. Selanjutnya Biding Laut dibawanya serta ke sebuah kerajaan di Jawa Timur.
TENGGELAM DI LAUT SELATAN
Biding
Laut hidup berbahagia bersama suaminya yang menjadi raja. Tetapi
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Terjadi intrik di dalam istana
yang menuduh Biding Laut berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum
kerajaan pun ditetapkan, Biding Laut harus dihukum mati.
Keadaan
ini menimbulkan kegalauan Sang Raja. Dia tidak ingin isteri yang sangat
dicintainya itu di hukum mati, sementara hukum harus ditegakkan. Dalam
situasi ini, dia lalu mengatur siasat untuk mengirim kembali Biding Laut
ke Banten melalui lautan.
Menggunakan
perahu, Biding Laut dan beberapa pengawal raja berangkat menuju Banten.
Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Laut Selatan.
Namun
malang nasib mereka. Dalam perjalanan itu, perahu mereka tenggelam
diterjang badai. Biding Laut dan beberapa pengawalnya tenggelam di Laut
Selatan.
Demikianlah sekelumit legenda Biding Laut yang dipercaya sebagai sosok asli Kanjeng Ratu Kidul.
“Dalam
legenda raja-raja Batak, sosok Biding Laut memang masih misterius
keberadaannya, Sedangkan anak-anak Guru Tatea Bulan yang lain tercantum
dalam legenda,” kata Silalahi dengan mimik serius.
Sementara
itu, Boru Tumorang (45 thn) mengaku sudah lama dirinya sering kemasukan
roh Kanjeng Ratu Kidul. Terutama terjadi saat kedatangan tamu yang
minta tolong dirinya untuk melakukan pengobatan. Tetapi Boru Tumorang
tidak mengerti mengapa raganya yang dipilih Kanjeng Ratu Kidul. Semuanya
terjadi diluar keinginannya.
Asal Usul Dalihan Natolu
Legenda Putri Nai Manggale
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.
Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.
Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya. Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari.
Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.
Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.
Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.
Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya…….
Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale. Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.
Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu. Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.
Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.
Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.
Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale.
Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita :
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN NA TOLU didalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE.
Langganan:
Postingan (Atom)